My Sweet Home

Hubungan Pria dan Wanita dalam Islam



Konsep Gender Islam Islam adalah agama rahmatan lil alamin. Keadilannya meliputi berbagai bidang. Termasuk hubungan antara laki-laki dan perempuan, yang di dalam kajian fiqh dikenal sebagai bab “Ahwalus Syahsiyah”. Namun demikian banyak nash-nash Syar’i yang sering dituding memihak laki-laki dan menempatkan wanita dalam posisi lemah.


Aturan-aturan rumah tangga seperti Qawwamahnya laki-laki (kepemimpinan laki-laki terhadap wanita), ketergantungan nafkah wanita terhadap laki-laki, kewajiban wanita untuk patuh pada suami dalam berbagai hal (termasuk dalam melaksanakan hubungan biologis), dibolehkannya poligami, kewajiban wanita dalam rumah tangga dan dibolehkannya suami menegur istri bahkan memukulnya, merupakan aturan-aturan yang dituding sebagai sebab penindasan wanita.


Bagaimanakah sebenarnya tuntunan Islam dalam hal hubungan laki-laki dan wanita? Apakah benar semua tuduhan itu? Jawabannya tidak sekedar membutuhkan keimanan dan keyakinan akan keadilan Islam, namun juga perlu penelaahan berbagai nash-nash al-Qur’an dan al- Hadits dan juga pendapat-pendapat ulama di dalamnya.


Pembahasan berikut akan mencoba menjawab segala syubhat di atas. Disini akan diuraikan menjadi beberapa bahasan yaitu:

1. Qawwamah laki-laki dan konsekuensinya
2. Hak wanita dalam hubungan biologis, dan hak reproduksi
3. Nafkah dan hak wanita untuk bekerja
4. Poligami sebagai alternatif.

A. Qawwamah laki-laki dan konsekwensinya

Firman Allah SWT : “Laki-laki adalah pemimpin bagi wanita , oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka . .” (QS AnNisa : 34)

Yang dimaksud dengan kepemimpinan laki-laki adalah: tertegaknya segala didikan, aturan, pemeliharaan dan perlindungan terhadap wanita (istri) sebagai suatu tanggung jawab pemimpin terhadap orang yang dipimpinnya. Jadi qawwamah laki-laki adalah tuntutan managerial atau suatu konsekwensi logis dari satu hubungan di mana harus ada yang memimpin dan yang dipimpin. Qawwamah laki-laki dalam Islam berlandaskan kasih sayang dan kelembutan bukan otoritas arogan kediktatoran. Serta terpenuhinya prinsip musyawarah dan ta’awun di dalamnya.

Karena itu ada dua hal yang patut diperhatikan dalam pelaksanaan qawwamah tersebut yaitu:

1. Hak suami melarang atau memerintahkan sesuatu terhadap sang istri (hak untuk ditaati)
2. Hak suami menegur istri bahkan dengan teguran fisik

Lalu terhadap larangan atau perintah suami terhadap istrinya, ada batasan-batasan syar’i yang patut dipatuhi :

1. Tidak boleh dalam hal maksiat kepada Allah SWT
2. Tidak boleh untuk menyakiti sang istri.

Dalam hal izin keluar rumah misalnya, ada sebuah hadits yang jadi perdebatan para ulama. Yaitu sebuah riwayat Anas tentang seorang istri yang suaminya sedang bepergian dan dia dilarang keluar dari rumahnya. Sampai akhirnya terdengar khabar bahwa orangtua si istri sakit, lalu istri meminta izin pada Rasul tetapi Rasul melarangnya. Begitu pula ketika terdengar berita bahwa orangtuanya meninggal, Rasul tetap melarangnya.

Hadits ini menjadi perdebatan ulama tentang sejauhmana seorang suami berhak melarang istrinya untuk bersilaturahmi kepada orangtuanya. Hadits tersebut, setelah diteliti dari segi sanadnya

(para perawinya) ada salah seorang perawinya dianggap memiliki cacat rawi yaitu Muhammad ibn Aqil al-Khaza’iy, sehingga hadits ini dianggap oleh Syafi’iy sebagai tidak shahih.


Disamping itu hadits ini dianggap bertentangan dengan nash al-Qu’an yang memerintahkan kita berbakti pada orangtua.

Larangan suami atas istri untuk ziarah kepada orangtuanya, terutama dalam kondisi orangtuanya sakit, dianggap melukai dan menyakiti perasaan istri dan itu bertentangan dengan prinsip wa 'asyiruhunna bil ma'ruuf.


Dalam masalah ta’dib (mendidik/menegur) istri, dimana sang suami boleh memukul sang istri, ada beberapa aturan yang perlu diperhatikan : 1. Teguran tersebut harus bertahap, sebagaimana yang tertera dalam QS. An-Nisa: 34. Bahwa hak untuk menegur, bukanlah bersifat sewenang- wenang. Atau isyarat dibolehkannya suami sewenang-wenang terhadap istri. Namun perlambang tanggung jawab suami terhadap perilaku sang istri bila bermaksiat terhadap Allah. Bila sang suami tidak menegur, tentulah ia berdosa pula.

Berbeda dengan istri, dia tidak dibebani tanggung jawab yang sama, ( sebesar tanggung jawab suami ) bila suami melakukan penyimpangan. Lihat hadits : “Setiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Dan seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya ...


Dalam sebuah ayat sering disebutkan Quu anfusakum wa ahlikum naara (Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka). Ayat diatas, memakai dlomir "Kum"( kamu semua laki-laki), artinya penjagaan tersebut adalah tanggung jawab utama bagi laki-laki. Meski demikian karena hukum da’wah wajib bagi setiap muslim dan muslimah, maka seorang istri juga wajib meluruskan apabila melihat suami melakukan penyimpangan.


2. Bahwa tindakan memukul yang dibolehkan adalah pukulan yang tidak menyakitkan atau meninggalkan bekas dan tidak boleh di wajah. Bahkan kalau bisa tidak memukulnya. karena Rasul tidak pernah memukul pembantu apalagi istrinya. Sebagaimana hadits yang diriwatkan oleh A’isyah RA.


B. Hak wanita dalam hubungan biologis dan hak reproduksi

Dalam hubungan biologis (aktifitas seksual) antara suami istri, banyak orang memahaminya sebagai suatu hak bagi suami dan kewajiban bagi sang istri. Hal itu berdasarkan hadits: “Jika seorang suami mengajak istrinya ke atas ranjang, tapi ia menolaknya, sementara sang suami marah, maka malaikat melaknatinya sampai subuh tiba” (Bukhari-Muslim)


Pendapat-pendapat ulama justru menunjukkan bahwa jima’ adalah hak bagi sang istri. Mereka hanya berbeda pendapat dalam hal berapa lamanya seorang istri wajib digauli. Syafi’i berpendapat bahwa wajibnya seorang istri digauli hanyalah satu kali. Karena hal ini berkaitan dengan syahwat dan perasaan maka tidak dapat diwajibkan begitu saja. Sedangkan Hanabilah berpendapat bahwa wajibnya itu setiap empat bulan sekali.


Adapun hadits di atas, para ulama menyarankan agar hadits tersebut tidak dipahami secara harfiah. Musthafa Muhammad Imarah misalnya, mengatakan bahwa laknat malaikat itu terjadi jika penolakan istri dilakukan tanpa alasan syar’i (sakit misalnya). Juga Wahbah az-Zuhaily, berpendapat bahwa laknat dalam hadits itu harus diberi catatan ‘selagi istri dalam keadaan longgar dan tidak takut disakiti’.

Al-Syirazi mengatakan bahwa meskipun istri wajib melayani permintaan suami, tetapi jika tidak terangsang untuk melayaninya, ia boleh menawarnya atau menangguhkannya sampai batas tiga hari. Dan bagi istri yang sedang sakit, atau tidak enak badan, maka tidak wajib baginya untuk melayani ajakan suami sampai sakitnya hilang. Bahkan Syaikh Ahmad kan’an dalam bukunya Ushul mu’asyarah as-zaujiyah, berpendapat bahwa hadits tersebut sebenarnya bukan tudingan bagi isteri semata. Suami juga akan mendapatkan hal yang sama jika menolak keinginan istri, sementara ia dalam kondisi yang telah dijelaskan para ulama diatas.


Adapun kalimat ‘jika laki-laki mengajak” dalam hadits di atas lebih cenderung pada bentuk “aghlabiyah” artinya, dalam realitanya laki- lakilah biasanya yang sering memulai. Jadi jelaslah bahwa hubungan badan (aktifitas seksual) bukan sekedar kewajiban bagi sang istri tapi juga merupakan haknya dan kewajiban bagi suami. Dengan kata lain aktifitas seksual merupakan hak dan kewajiban bersama. Maka bagaimana mungkin dikatakan ada ‘marital rape’ dalam keluarga Islami?


Adapun hak-hak reproduksi wanita atau hak wanita untuk menentukan apakah ia mau hamil atau tidak dapat ditelusuri dari hadits-hadits tentang azal. Hukum azal (mengeluarkan mani ketika jima’, tidak pada kemaluan wanita, dengan tujuan menghindari kehamilan) memang diperdebatkan. Namun dapat disimpulkan bahwa kebanyakan ulama tidak mengharamkannya, hanya menganggapnya makruh. Hanya ulama Dhahiriyah yang menganggapnya haram secara mutlak.

Banyak ulama yang mengaitkan kebolehan azal itu dengan izin dari istri. Artinya bila si istri menyetujui, maka boleh dilaksanakan azal. Tetapi bila tidak, maka hendaknya azal ditinggalkan. Bahkan persetujuan istri inilah yang dianggap menjadi sebab dibolehkannya azal secara mutlak.


Hal ini didasarkan pada dua sebab :

1. Dhahir bunyi hadits riwayat Ibn Majah dari Umar ibn Khattab bahwasanya Rasulullah SAW melarang melakukan azal kecuali dengan izin dari istri : “Rasulullah SAW melarang azal, kecuali seizin isteri”
2. Menikmati hubungan seksual dan melahirkan anak sebagai akibat hubungan tersebut adalah merupakan hak bagi istri, maka dia yang lebih berhak menyatakan boleh atau tidak melakukan azal.

C. Nafkah dan hak wanita untuk bekerja

Islam mengatur kewajiban nafkah sebagai kewajiban yang dibebankan kepada suami. Suamilah yang berkewajiban mencukupi sandang, pangan, dan papan istri dan anak-anaknya. Sementara seorang istri berkewajiban mengatur rumah tangga. Namun jika penghasilan suami tidak mencukupi, maka seorang wanita dibolehkan bekerja, untuk membantu suami dengan syarat :

1. Ada izin dari suami
2. Tidak melalaikan tugas-tugas rumah tangga
3. Bekerja pada bidang yang sesuai kodratnya serta memelihara kehormatan diri dan keluarga.

Yang perlu ditekankan adalah bekerjanya wanita di luar rumah dengan motivasi ekonomi ini sebenarnya merupakan sesuatu hal yang justru menambah kewajiban-kewajiban extra bagi wanita. Jadi bukan suatu hak mutlak yang serta merta menyenangkan wanita. Maka idealnya seorang wanita dapat mengembangkan suatu usaha ekonomi yang tidak terlalu menyita waktu keluar rumah (home industry). Hal ini lebih memungkinkan baginya untuk tetap melaksanakan fungsi utamanya selaku ibu rumah tangga.


D. Poligami sebagai alternatif

Islam mensyari’atkan poligami sebagai suatu alternatif mengatasi berbagai permasalahan wanita yang kompleks. Jumlah wanita yang relatif lebih banyak daripada pria menuntut adanya suatu sistem keluarga yang bertujuan untuk mengayomi wanita itu sendiri. Dalam poligami hak- hak seorang istri terhadap suaminya tidaklah berkurang. Sebaliknya, kewajiban istri kepada suaminya justru bisa ditanggung secara kolektif (bersama-sama) antara satu istri dengan istri lainnya.


Begitu pula dalam hal pemeliharaan anak-anak. Di sisi lain, adanya pembagian waktu antara satu istri dengan istri lainnya dalam hal melayani suami, memungkinkan bagi sang istri memperoleh waktu luang mengembangkan potensi pribadinya. Suami pun dapat memperoleh haknya di saat istri lain berada dalam kondisi halangan syar’i.

Yang terpenting dalam poligami adalah keadilan suami dalam hal nafkah, baik lahir maupun batin dan pembagian waktu. Adapun masalah hati, adalah sesuatu yang memang susah untuk dilaksanakan. Karena Allah sendiri telah mengisyatatkan hal tersebut.

Keadilan itu sulit tercipta tanpa adanya satu keterbukaan. Dengan adanya keterbukaan pula, penyelewengan atau penyimpangan prilaku suami dalam menjalankan kewajibannya dapat dipantau para istri.

***************************************************************************


Semoga apa yang evi share kepada semua sahabat dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan kita semua. Diharapkan diskusi dari teman-teman terhadap catatan evi ini. Apabila ada kesalahan dalam penulisan dan ucapan, evi mohon maaf . Jazakumullah khoir telah membaca dan mengomentar setiap catatan evi.


Salam

~Evi A.~

Medan, 12 September 2010

http://eviandrianimosy.blogspot.com/




author

a wife, a mom, a blogger, a survivor of ITP & Lupus, a writer, author, a counselor of ITP & Lupus autoimmune, a mompreuneur, a motivator, a lecturer.