My Sweet Home

Meniti ‘Fitrah Hidup’ Di Hari yang Fitri

Meniti ‘Fitrah Hidup’ Di Hari yang Fitri [Catatan Akhir Pekan (CAP) Asmu'i ke-10]
by Asmu'i Marto

Prolog
Pencapaian tertinggi dari ibadah puasa Ramadhan adalah taqwa (QS. Al-Baqarah: 183). Posisi dimana manusia secara sadar mengakui keagungan Tuhannya, mengakui kelemahan dirinya, mengetahui tugas dan tanggung jawabnya serta melaksanakannya dengan tulus-ikhlas karena Allah swt semata. Di antaranya, seperti yang baru saja kita lakukan, yaitu ibadah puasa Ramadhán dan amal-amal shalih lainnya. Sehingga di penghujung Ramadhan meraih fitrah diri.

Tapi tidak jarang, di hari yang fitri ini, saat merasa bebas dari segala khilaf dan dosa, ada yang ‘terbesit’ bahkan bertekat untuk kembali hidup secara bebas. Mengisi hari-hari penuh ketidakhati-hatian dan malas-malasan. Tidak optimis bahkan penyesalan. Pikiran tersebut timbul hanya karena sudah yakin betul punya bekal hidup yang cukup untuk setahun ke depan. Jika demikian halnya, benarkah kita telah mencapai tingkat taqwa dengan puasa Ramadhán? Benarkah di penghujung Ramadhán ini kita telah kembali fitri? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, mari kita kembali melihat dan mendalami apa itu fitrah manusia, lalu apa kaitannya dengan ibadah, dan bagaimana cara menitinya.


Fitrah Hidup Manusia

Kita sebelumnya tidak ada. Allah swt kemudian mengadakan (menciptakan) kita. Sehingga kita ada di dunia ini. Artinya, kita tidak hadir tiba-tiba. Tapi diadakan oleh Allah swt, Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dengan qudrah dan iradah-Nyalah kita hidup. Kita sama sekali tidak menanam saham di dalamnya. Kita terima jadi. Semuanya dari Allah swt. Karena itu, Dialah pemilik kita yang hakiki. Bukan yang lain. Sebab, selain-Nya adalah makhluk ciptaan-Nya juga. Menjadi milik Allah swt bermakna bahwa kita adalah hamba-hambaNya (‘Abdullah). Makanya, sungguh sesat menjadikan salah satu makhluk-Nya sebagai Tuhan, tempat menggantungkan hidup dan kehidupan ini.

Allah swt menciptakan kita dengan sengaja. Sebab, semuanya atas qudrah dan iradah-Nya. Karena itu, tugas kita di dunia ini sudah jelas dari awal, yaitu hanya untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya, “Tidaklah Aku menciptakanan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku" (QS. Adz-Dzariyat: 56). Aktivitas ibadah yang dimaksud di situ tersimpul dalam amanah kekhalifahan yang Allah swt berikan pada kita (cermati QS. Al-Baqarah: 30). Inilah fitrah hidup kita.

Oleh sebab itu, aneh jika hari ini ada seorang Muslim/Muslimah yang gelisah tidak punya kerjaan alias ‘merasa’ jadi pengangguran. Padahal, begitu banyak tugas kekhalifahan di sekelilingnya yang harus segera diselesaikan. Jika yang ia maksudkan adalah kesibukan dalam perspektif materi semata, sungguh ia telah terputus dari fitrah kemanusiaannya. Terputus karena selain menafikan tugas mulia dari Tuhannya, ia juga tidak sedang menggantungkan perkaranya pada Allah swt, tapi pada selain-Nya. Misalnya pada materi, pada akal fikirnya semata, dan lain sebagainya. Singkatnya, orang yang merasa menganggur itu sejatinya sedang bingung dengan dirinya sendiri.

Meniti Fitrah Hidup

Perintah beribadah berkaian erat dengan kenyataan bahwa kita milik Allah swt sepenuhnya. Kenyataan bahwa sebelumnya kita tidak ada, kemudian Allah swt adakan, ciptakan. Makanya, jangankan harta, hatta diri ini saja dari-Nya dan milik-Nya. Karena itu, hakikatnya kita berhutang pada Allah swt. Hutang kita adalah diri kita sendiri, keber-adaan kita ini. Itu adalah pemberian terbesar Tuhan pada kita. Buktinya, ketika seseorang terancam hidupnya, biasanya ia akan mengorbankan apa saja untuk menyelamatkan dirinya. Atas dasar itu, manusia itu sesungguhnya berhutang pada Allah swt atas karunia ‘keber-ada-annya’ dan semua karunia duniawi untuk mencukupi hidupnya. Rasa keberhutangan inilah elemen mendasar dari kepasrahan diri manusia kepada Tuhan.

Mengembalikan diri kita kepada Allah swt adalah proses menjadikan diri kita ini kembali pada fitrah yang sesungguhnya, kepada jati diri kita dengan jalan mengabddikan diri kepada-Nya. Ini adalah konsep spiritual bukan aspek fisik dari keberadaan kita. Karena itu, pengetahuan ini akan menuntun kita dengan sepenuh hati dan dengan kesadaran yang tinggi mengabdikan diri kepada Allah swt melalui ketaatan atas perintah, hukum-hukum dan menghindari larangan-Nya. Jadi sama sekali tidak ada paksaan, namun sebaliknya, secara sadar, penuh keikhlasan semata-mata karena Allah swt (baca: Islam and Secularism; bandingkan dengan Prolegomena).

Dengan demikian, tidak semua cara bisa ditempuh untuk mengembalikan diri. Tidak semua cara benar dan menjadikan diri kita kembali fitrah. Yang benar dan dapat diterima adalah yang melalui agama yang terpancar dari konsepsi ke-Esaan Tuhan yang benar sebagaimana yang diwahyukan kepada Nabi Ibrahim as. dan para penerusnya. Inilah agama yang diridhai Allah swt, “Sesungguhnya agama di sisi-Allah adalah Islam” (QS. Ali-‘Imran: 19). Oleh sebab itu, ibadah kita baru akan diterima tatkala dilakukan dengan ikhlas karena Allah swt dan sesuai dengan syari’at-Nya [baca: Tafsir al-‘Azim (1: 154); Ihya’ (4: 346) dan al-Jami’ al-Saghir (1: 49)].

Desain Tubuh Kita

Desain tubuh kita tentu sesuai dengan tujuan penciptaan kita. Karena kita diciptakan hanya untuk beribadah kepada-Nya, berarti kita didesain hanya untuk beribadah kepada-Nya. Desain ini dari Tuhan Yang Maha Pencipta. Pemilik kita, Zat Yang Maha Tahu diri kita. Sehingga, jika selama hidup kita tidak beribadah, berarti kita merusak diri kita sendiri. Sebab tidak sesuai dengan kondisi kita. Tidak sesuai dengan fungsi dan tanggungjawab kita. Singkatnya, tidak beribadah berarti kita tidak merawat diri kita sebagaimana yang seharusnya, yakni sesuai fitrah yang Allah swt ciptakan.

Contoh sederhananya begini. Sebuah gelas kecil khusus dibuat oleh perusahaan tertentu untuk air minum. Air minum yang dimaksud bukan yang panas atau bukan pula yang dingin. Tapi yang biasa saja. Alasan apapun, jika kemudian kita menggunakannya untuk memuat minuman yang panas atau yang sangat dingin, maka sudah dapat dipastikan bahwa usia gelas itu tidak akan lama. Sebab, bahan untuk membuatnya telah disesuaikan dengan tujuan pembuatannya. Sesuai fungsi dan kemampuannya. Makanya, agar tidak mudah rusak kita harus memperhatikan petunjuk pemakaian dari perusahaan dimana gelas itu diproduksi. Demikian juga tubuh kita, jika tidak difungsikan sesuai tujuan penciptaan Allah swt, maka kita akan rusak. Yang merusak adalah diri kita sendiri. Sebab akan seperti apa kita di dunia ini adalah pilihan hidup kita. Yang jelas, perumpaan di atas sangatlah sederhana. Sebab Allah swt Maha segalanya. Dia tidak akan keliru walaupun sedikit tentang kita.

Beribadah Menjaga Jiwa

Bagi manusia, jiwa menempati peran yang sangat penting. Rasulullah saw bersabda, “Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ini terdapat segumpal darah. Apabila segumpal darah itu baik, maka baik pula seluruh anggota tubuhnya. Dan apabila segumpal darah itu buruk, maka buruk pula seluruh anggota tubuhnya. Segumpal darah yang aku maksudkan adalah hati” (Hadis Riwayat Al-Bukhari). Dengan demikian, perkataan, pemikiran, tulisan dan perbuatan kita adalah cermin dari jiwa kita, kepribadian kita.


Di situlah peran ibadah, yaitu memberi makan jiwa dengan ‘makanan’ yang sehat dan menyehatkan. Bahkan juga secara teratur menjaga kesehatannya dengan berbagai vitamin yang dibutuhkan. Vitamin itu bisa berupa nasihat-nasihat yang mengajak kepada ketakwaan dari para ulama yang ‘alim sekaligus ‘amil. Asupan gizi juga terus mengalir tatkala kita tidak putus minum ilmunya para ulama, kyai, ustadz yang benar, tulus-ikhlas karena Allah swt semata. Bukan dari orang-orang yang mengaku ahli dalam agama, tapi sejatinya justru tidak kenal Islam, ragu dengan Islam bahkan memandang Islam tidak sempurna, seperti mereka yang fikirannya liberal (akidahnya terbaratkan).

Maka dari itu, sungguh kasihan orang-orang yang hidupnya bergelimang dengan dosa dan maksiat. Orang-orang itu merusak dirinya sendiri. Menjadikan jiwanya berkarat dan sekarat. Jika jiwa sudah seperti itu, yang akan tumbuh subur adalah berbagai penyakit hati, seperti iri, dengki, takabbur dan serakah. Sulit sekali bagi jiwa seperti ini mengenali jalan kebenaran di antara jalan-jalan kesesatan yang membentang di hadapanya. Allah swt berfirman: ''Dan (demi) jiwa dan penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.'' (QS Asy-Syams [91]: 7-10).

Jiwa yang hitam pekat sulit ditembus cahaya dan petunjuk Allah swt. Akibatnya, jiwa ia tidak bisa membedakan lagi mana jalan yang diperintahkan dan jalan yang terlarang. Semua dianggapnya sama. Baginya, melalui jalan kefasikan tidak lagi berdosa. Sedangkan jalan kebaikan ia nilai sia-sia untuk dilalui. Di sini, tidak ada lagi keikhlasan, kesabaran dan lapang dada menerima kenyataan hidup.

Sementara itu, mereka yang ikhlas beribadah kepada Allah swt, jiwanya jernih laksana air. Apapun yang dimasukkan ke dalam air jernih dengan mudah bisa diketahui dan dikenali. Jiwa ini bersih, sehat, dan segar. Cahaya dan petunjuk Ilahi akan tembus meresap dan mengendap dalam relungnya. Jiwa ini akan lebih mudah membaca dan menyimpulkan setiap isyarat di hadapannya dan ayat-ayat alam di sekelilingnya. Ia punya prasangka baik (husnuzhan) kepada Allah swt, optimistis dan lapang dada. Hal ini karena cahaya Ilahi memang akan bersemayan di dalam jiwa yang bersih. Dalam sebuah Hadith Qudsi Allah swt berfirman: “Bumi dan langit-Ku tidak dapat memuat-Ku, tetapi yang dapat memuat-Ku adalah hati hamba-Ku yang beriman.

Epilog

Beribadah adalah fitrah kita. Proses kita membayar hutang kepada Allah swt. Mengembalikan diri ini hanya kepada-Nya. Orang yang menapaki jalan ini berarti ia terhindar dari tiga kesalahan.
Pertama, kezaliman. Zalim bermakna tidak adil, sebab tidak meletakkan sesuatu pada tempatnya (baca: Kitabu at-Tauhid). Orang zalim tidak bisa memahami dan menerapkan konsep secara proporsional. Ia mencampur dua atau tiga konsep yang saling bertentangan. Contohnya, bertauhid tapi masih berfikir dichotomis-dualistis bahkan pluralis, mencampur keimanan dengan kemusyirikan, dsb.

Kedua, bodoh. Al-Ghazali menyebutnya dengan hamaqah. Ia bukan jahil dan buta aksara. Tapi bodoh dalam cara mencapai tujuan. Karena tidak tahu apa tujuan hidupnya, seseorang jadi bodoh tentang cara mencapainya. ”Anda harus bisa kaya dengan segala cara” adalah bisikan Machiaveli yang diterima dengan sukarela. Anda bisa ‘jual diri’ asal bisa jadi selebriti. Karena itu, Islam datang menawarkan jalan dan cara mencapai tujuan yang disebut syariah (cermati QS. A1-Ma'idah: 15-16 dan al-Jatsiyah: 18. Pembahasan mendalam tentang “syariah sebagai jalan” lihat dalam al-Asfahani dan Ibn Manzur).

Ketiga, gila. Artinya salah tujuan, salah menentukan arah dan tujuan hidup, salah arah perjuangan. Hal ini karena hamaqah atau kebodohan. Bodoh akan negeri impian akan bingung hendak kemana sampan didayung. Yang jahil tentang arti ibadah tidak akan pernah tahu apa gunanya ibadah baginya. Yang demikian adalah kegilaan. Karena itu, amalnya hanya demi dirinya (linnafsi faqod), mencari kehormatan diri (lil jah), harta (lil mal), yang tiba-tiba diklaim menjadi Demi Allah swt semata (Lillah Ta’ala).
Jadi, orang yang tidak hidup sesuai fitrahnya sejatinya adalah orang-orang yang zalim, bodoh dan gila. Dan bisa jadi, orang yang berpandangan dan berperilaku tidak tauhidi (dualistis), mengakui kebenaran lain di luar Islam alias berfikir liberal-pluralis adalah yang menjadi sumber virusnya. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
.............................................................
Padi (Padepokan Ilmu), 11 September '10
Dini Hari, 01.31 WIB.
********************************

(dari : sahabatku Asmu'i)
author

a wife, a mom, a blogger, a survivor of ITP & Lupus, a writer, author, a counselor of ITP & Lupus autoimmune, a mompreuneur, a motivator, a lecturer.