My Sweet Home

Tantangan Umat Islam dalam Dunia Politik

Tantangan Umat Islam dalam Dunia Politik
Oleh: Nandang Burhanudin

Umat Islam dan Politik

Dalam sejarahnya, umat Islam --dalam kategori politik-- seringkali hanya dijadikan sebagai sebuah ‘palu atau alat pemukul’ . Setelah selesai tugasnya, alat tersebut dikembalikan lagi ke tempat penyimpanan perkakas. Menurut saya, salah satu cara penting yang harus dibangun kalangan Islam adalah bagaimana merumuskan hubungan yang sehat antara politik dan Islam. Dalam doktrin Islam tradisional selalu diajarkan bahwa berpolitik harus selalu dihindari. Ajaran lain mengatakan, kalau mau berpolitik, Islam harus menjadi identitas dengan segala formalismenya. Kedua-duanya keliru.

Kondisi ini disebabkan, umat Islam masih disibukkan dalam memposisikan dirinya di kancah politik. Dalam teori Prof. Fahmi Huwaidi seorang kolumnis dan pemikir muslim Mesir mengungkapkan empat kategori kelompok dalam Islam, yang menamakan dirinya sebagai kelompok pengusung kebangkitan Islam ,

1. Kelompok-kelompok terorganisir dan berpolitik.
2. Kelompok-kelompok terorganisasi, tetapi tidak berpolitik.
3. Kelompok bebas yang tidak berafiliasi pada suatu organisasi, tetapi memainkan peran aktif dalam membentuk intelektualitas Islam dewasa ini.
4. Kelompok-kelompok yang tidak terorganisasi dan tidak berpolitik.

Di Indonesia, kelompok pertama direpresentasikan oleh Dewan Dakwah Indonesia dengan Partai Bulan Bintang, Jamaah Tarbiyah dengan PK dan Hizbut Tahrir Indonesia. Sedang di Timur Tengah direpresentasikan oleh Ikhwanul Muslimin (Mesir), al-Jihad wa at-Tahrir al-Islami, al-Jabhah al-Islamiyah al-Qaumiyah (Sudan), al-Ittijah al-Islami (Tunisia), dan al-Hizbut at-Tahrir al-Islami. Gerakan sejenis yang terdapat di luar Dunia Arab misalnya eksperimen di Iran (oleh kaum muslim Syi'i) dan program Jami'at Islami di India.

Kelompok kedua, diwakili oleh NU, Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad, kelompok Sufi, Jamaah Dakwah wat Tabligh Indonesia dan Salafi serta ormas-ormas Islam lainnya yang secara garis organisasi tidak mengafiliasikan dirinya kepada partai tertentu. Kelompok Salafi adalah kelompok yang menekankan tauhid dan memerangi bid'ah yang erat kaitannya dengan gerakan Wahabi di Saudi Arabia.

Kelompok ketiga di Indonesia sangat jarang –untuk tidak mengatakan sulit- ditemukan. Tetapi mungkin termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang selama ini murni berkecimpung dalam dunia pendidikan dan dakwah Islam, tanpa berafiliasi kepada salah satu ormas maupun partai. Sosok seperti Prof. Dr. Nurcholis Madjid, KH. Abdullah Gymnastiar mungkin cocok mewakili kelompok ini. Sedang di Timur Tengah diwakili oleh misalnya: Syekh Ali ath-Thantawi, Syekh M. Mutawalli asy-Sya'rawi, Syekh Abdul Hamid Kisyik, Syekh Ahmad al-Makhlawi, dan Syekh Dr. Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthi, Guru Besar Fakultas Syari'ah di Damaskus yang sebagian karyanya tersebar di kalangan umat Islam.

Sedangkan kelompok keempat adalah komunitas muslim baru yang dulunya dikenal sebagai muslim abangan. Kelompok-kelompok ini direpresentasikan oleh umat Islam yang sedang dalam proses pertumbuhan keimanan. Akhir-akhir ini mereka memenuhi masjid-masjid serta melaksanakan ibadah 'umrah dan haji, sedangkan kaum wanitanya mengenakan jilbab secara sukarela. Lapisan ini berkembang cepat dan mengarahkan dirinya secara esensial. Mereka tidak mempunyai sistem apa pun, baik dalam pemahaman ataupun eksperimen keberagamaan. Akan tetapi, mereka meletakkan seluruh aspek kehidupan di bawah pedoman Islam. Memang harus diakui, banyak jalan menuju keridhaan Allah Ta’ala. Prof. Fahmi Huwaidi menilai bahwa kelompok yang disebut terakhir merupakan landasan riil bagi kebangkitan Islam yang tidak direkayasa, apalagi mereka merupakan sumber pijakan bagi kelompok-kelompok lain, baik yang moderat, ekstrem, maupun yang a-politis.

Berbedanya pengelompokan yang dilakukan tak terlepas dari “apa” yang mereka perjuangkan. Dimana dari keempat kelompok tadi terpolarisasi ke dalam tiga tipologi pemikiran terutama dalam menyikapi turats (warisan Islam masa lalu) dengan al-hadtsah (peristiwa baru di era modern ini). Tiga tipologi pemikiran tersebut adalah:

1. Transformatik
Tipologi ini mewakili para pemikir muslim Indonesia yang secara radikal mengajukan proses transformasi masyarakat muslim dari budaya tradisional-patriarkal kepada masyarakat rasional dan ilmiah. Mereka menolak cara pandang agama dan kecenderungan mistis yang tidak berdasarkan nalar praktis, serta menganggap agama dan tradisi masa lalu sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman sekarang. Karena itu, harus ditinggalkan.

2. Reformistik
Jika pada kelompok pertama metode yang diajukan adalah transformasi sosial, pada kelompok ini, proyek yang hendak digarap adalah reformasi dengan penafsiran-penafsiran baru yang lebih hidup dan lebih cocok dengan tuntutan zaman. Di antara pendekatan yang paling menonjol dari kelompok ini adalah kecenderungannya untuk memakai metode pendekatan rekonstruktif, yaitu, melihat tradisi dengan perspektif pembangunan kembali. Maksudnya, agar tradisi suatu masyarakat (agama) tetap hidup dan bisa terus diterima, maka ia harus dibangun kembali secara baru (i'adah buniyat min jadid) dengan kerangka modern dan prasyarat rasional. Perspektif ini berbeda dengan kelompok tradisionalis yang lebih memprioritaskan metode "pernyataan ulang" (restatement, reiteration) atas tradisi masa lalu. Menurut yang terakhir ini, seluruh persoalan umat Islam sebenarnya pernah dibicarakan oleh para ulama dulu, karena itu, tugas kaum Muslim sekarang hanyalah menyatakan kembali apa-apa yang pernah dikerjakan oleh pendahulu mereka.

3. Ideal-Totalistik
Tipologi ideal-totalistik diwakili oleh mayoritas pemikir keagamaan yang sangat committed kepada Islam sebagai doktrin seluruh aspek kehidupan. Kelompok ini percaya sepenuhnya kepada doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif untuk kebangkitan kembali sejarah kegemilangan kaum Muslim. Menurut kelompok ini, umat Islam harus kembali kepada ajaran asli Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Usaha penyucian Islam dari ajaran-ajaran asing baik yang berasal dari dalam (bid'ah kaum Muslim) maupun dari luar (Barat dan modernitas) menjadi agenda utama untuk mencapai keaslian ajaran Islam (Ashlah al-Islamiyah). Kemunduran yang dialami kaum Muslim sekarang ini disebabkan jauhnya mereka dari ajaran Islam. Usaha Islamisasi untuk segala aspek kehidupan Muslim menjadi agenda utama. Dari masalah etika, tingkah laku secara individu maupun sosial, hingga ilmu dan landasan epistemologi yang akan diserap oleh mereka, harus diislamkan, agar seluruh gerak dan tindakan yang hendak dilakukan oleh kaum Muslim adalah Islami.

Jamaah dan Politik
Jamaah adalah umat atau masyarakat umum dari penganut Islam yang bersepakat atas suatu perkara demi mencapai tujuan tertentu. Elemen mendasar fungsi jamaah adalah menegakkan mar makruf dan nahyi munkar.

Pengertian ini tak jauh beda dengan pengertian partai politik modern yang berarti organisasi manusia di mana di dalamnya terdapat pembagian tugas dan petugas untuk mencapai suatu tujuan, mempunyai edologi (ideal objectve), memimiliki program politik (political paltform, material objective) sebagai rencana pelaksanaan atau cara pencapaian tujuan secara lebih pragmatis menurut penahapan jangka dekat sampai jangka panjang serta mempunyai ciri berupa keinginan untuk berkuasa.

Tujuan partai politik sangat luas, meliputi aktivitas berikut;

1. Berpartisipasi dalam sektor pemerintahan, dalam arti kader-kader partai duduk di pemerintahan sehingga dapat turut serta mengambil atau menentukan keputusan politik atau output pada umumnya.
2. Berusaha melakukan pengawasan, bahkan oposisi bila perlu terhadap kelakuan, tindakan, kebijaksanaan para pemegang otoritas.
3. Berperan untuk dapat memadu tuntutan-tuntutan yang masih mentah, sehingga partapi politik bertindak sebagai penafsir kepentingan dengan mencanangkan isu-isu politik yang dapat dicerna dan diterima oleh masyarakat secara luas.

Dengan demikian kedudukan jamaah dan partai politik adalah laksana batu bata bangunan yang saling menopang. Kumpulan jamaah melahirkan politik. Jamaah yang tadinya bersifat eklusif menjadi inklusif dan tujuan jamaah lebih mengarah kepada kepentingan masyarakat banyak. Dari uraian di atas, penulis memandang bahwa PK pada mulanya merupakan bagian kelompok keempat dalam struktur kebangkitan Islam. Hal ini bisa dilihat dari mayoritas kader PK yang berusia muda, rata-rata kelahiran tahun ‘60-an dan secara politik terlepas dari pelbagai partai politik saat itu hingga era reformasi tahun 1998. Pada akhirnya, individu maupun kolektif yang non partisan tersebut, sepakat meleburkan dirinya dalam sebuah partai sebagai cerminan dari perjuangan mereka. Kendati demikian, kader-kader PK tidak melepaskan aktivitas kaderisasi mereka untuk menciptakan kelompok keempat dalam pergerakan Islam di atas.

Secara tipologi pemikiran sosial-politik, PK masuk dalam tipologi ideal-totalistik atau paradigma integralistik (unified paradigm). Hal ini nampak dalam materi training orientasi Partai Dewan Kaderisasi PK yang menyatakan,
"Islam bukan hanya ritual-ritual belaka yang kita lakukan sebagai bentuk ketundukan kepad Allah Ta’ala. Islam jauh lebih luas dari sekedar ritual. Islam adalah sistem kehidupan yang lengkap dan paripurna serta bersifat universal. Ia mengatur kehidupan kita sejak kita bangun dan tidur sampai kita tidur kembali. Ia menata kehidupan kita sebagai individu dan masyarakat. menata ibadah kita seperti ia menata ekonomi dan politik kita. Ia menata hukum kita seperti ia menata kehidupan sosial budaya. Ia adalah al-Qur’an dan pedang, masjid dan pasar, agama dan negara, iman dan ilmu, ibadah dan seni".

Juga ketika mengemukakan jati diri PK dinyatakan,
“Islam adalah sistem hidup yang universal, mencakup seluruh aspek kehidupan. Islam adalah negara dan tanah air, pemerintahan dan umat, moral dan kekuatan, rahmat dan keadilan, kebudayaan dan perundang-undangan, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, usaha dan kekayaan, jihad dan dakwah, tentara dan fikrah, akidah yang lurus dan ibadah yang benar. Keuniversalan inti dan pokok-pokok ajaran Islam yang bernilai perintah kepada kaum muslimin untuk diterapkan secara utuh. Islam adalah suatu tata hidup yang meliputi agama, politik, negara dan masyarakat.”

“Para pendiri dan pendukung PK meyakini bahwa keuniversalan ajaran Islam melingkupi seluruh kehidupan manusia dan kemanusiaan …”

Tantangan Politik Kaum Muslimin di Masa Lalu
Analisa sospol hendaknya tetap selalu mengacu kepada konsep Al-Quran mengajarkan peristiwa kepada manusia, yaitu menggali pelajaran yang telah terjadi. Pembahasan ini menekankan analisa retrokspektif terhadap peristiwa yang sudah terjadi.

Di masa lalu, dalam dunia politik kaum muslimin dihadapkan pada beberapa kasus yang semuanya bermuara pada marjinalisasi umat Islam dari kancah politik. Kasus-kasus yang sudah terjadi membentang dari tahun 1970-1999 seperti kasus Malari, Tanjung Priok, Asas Tunggal, Pelarangan Busana Muslimah, Pelarangan Libur di bulan Ramadhan, masuknya Aliran Kepercayaan dalam GBHN 1978, Undang-undang Perkawinan yang bertentangan dengan Islam, kebijakan fusi partai, Gerakan Mahasiswa dekade 1998 (reformasi), Pendirian Partai-partai Politik Islam 1999, Poros Tengah dll.

Rezim otoritarian Soeharto yang telah berkuasa selama lebih dari tiga puluh tahun, akhirnya berhasil ditumbangkan oleh gerakan reformasi mahasiswa pada tanggal 21 Mei 1998. Setelah itu Indonesia segera memasuki fase liberalisasi politik awal yang ditandai oleh serba ketidakpastian dan destabilisasi. Karenanya dinamai secara teoritis oleh O’Donnel & Schmitter (1986) sebagai fase ‘transisi dari autoritarianisme entah menuju kemana.” (Eep Saefulloh Fatah, Catatan Politik 1998-1999: Menuntaskan Perubahan, hal.10)

Menurut sejarah kasus-kasus transisi, liberalisasi politik awal bukanlah garansi yang cukup untuk memastikan bahwa sistem politik sedang berjalan ke arah demokrasi. Fase liberalisasi politik awal dapat berlanjut ke arah dua kemungkinan: transisi menuju demokrasi atau rekonsolidasi autoritarianisme.
Liberalisasi politik awal pasca Soeharto itu ditandai antara lain oleh terjadinya redefinisi hak-hak politik rakyat. Daftar hak yang pada sebelumnya begitu pendek, dalam fase ini telah memanjang secara dramatis. Setiap kalangan menuntut kembali haknya yang selama bertahun-tahun diberangus Orde Baru. Dalam kerangka itulah terjadi luapan kebebasan. Setiap kalangan menuntut kembali hak-haknya.

Pembebasan tahanan dan narapidana politik adalah simbolisasinya yang paling awal dan paling tegas. Yang juga tak terhindarkan di tengah fase liberalisasi politik awal adalah terjadinya ledakan partisipasi politik. Ini tentunya merupakan konskwensi logis dari pengekangan partisipasi politik yang berlebihan di masa Orde Baru sehingga terjadi pembusukan politik yang begitu parah.

Pada level elit politik, ledakan partisipasi politik terjadi dalam maraknya pendirian partai politik dengan berbagai platformnya. Keberadaan partai politik dalam suatu negara, dianggap sebagai salah satu perangkat institusi demokrasi, karena fungsi partai politik diantaranya (AM Fatwa: Satu Islam Multi Partai, hal. 93): Menyerap dan mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat

Demikian pula dengan media penyaluran perbedaan pendapat yang terjadi di masyarakat. Akhirnya keberadaan partai politik yang kuat menjadi faktor penting dalam kehidupan berbangsa.
Dan adanya partai politik yang kuat dan mandiri akan mampu mengontrol jalannya pemerintahan. Sejarah membuktikan, lembaga eksekutif (pemerintah) selalu dominatif dan tidak terkontrol akibat disfungsionalisasi partai-partai politik yang tidak mampu mengawasi dan mengontrol jalannya pemrintahan.
‘Halaman’ kebebasan berpolitik bangsa di era reformasi ini memang terhampar luas seolah tanpa tepi. Dan semangat itu pun dirujukan pada pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan, “kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang” (Ismail Hasan Metareum: Partai Islam & Problema dalam Era Reformasi, dalam Memilih Partai Islam Mendambakan Presiden, hal.138). Dan juga Undang-Undang No 2 tahun 1999 tentang Partai
Politik sebagai pengganti UU Politik yang lama.

Akibatnya bermunculanlah partai-partai politik baru seperti cendawan di musim hujan. Jumlah peserta yang banyak itu, selain akan menciptakan suasana baru dengan berbagai konskwensinya dalam proses penyelenggaraan pemilu, juga dapat mendorong terciptanya konfigurasi baru dalam kehidupan politik Indonesia, hususnya di lembaga legislatif. Apalagi berdasarkan Undang-Undang No 2 tahun
1999 tentang parpol, maka tiap partai politik dapat mencantumkan asas ciri khas partai politiknya asalkan tidak bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ledakan partisipasi politik di atas, terjadi juga secara tegas di kalangan Islam. Terbukanya tirai kebebasan tersebut dimanfaatkan oleh umat Islam untuk merevitalisasi diri, termasuk merivitalisasi kritisme dan daya tawar politik Islam. Kita menyaksikan dan merasakan semangat gerakan politik Islam kembali bergelora. Semangat itu dipicu oleh keinginan untuk mengambil peranan sentral dalam proses penyelenggaraan negara lewat wadah politik, semangat untuk ikut andil dalam menentukan arah perjalanan bangsa.

Gelora semangat berpolitiknya umat Islam itu terlihat dari 48 parpol yang berhak ikut pemilu 1999, lebih dari 10 diantaranya adalah partai politik Islam. Baik yang memakai asas Islam, atau yang hanya menjadikan umat Islam sebagai konstituennya. Ada yang merupakan reinkarnasi partai politik Islam masa lalu, ada yang mengambil inspiransi dari partai politik Islam yang pernah ada dengan beberapa modifikasi, dan ada yang sama sekali baru, artinya tidak punya akar historis dengan partai politik Islam yang pernah ada.
Bustannudin Agus menggolongkan partai politik Islam menjadi tiga tipe (Sahar RH, dkk: Memilih Partai Islam : Visi, Misi, dan Persepsi, hal.16):

1. Yang memakai nama Islam.
2. Tidak memakai nama Islam tapi memakai kata yang mudah dikenal sebagai partai bercirikan Islam, bersifat terbuka, dapat menerima orang Indonesia nonmuslim sebagai anggota.
3. Yang tidak memakai nama dari istilah-istilah Islam tapi dilatarbelakangi oleh idiologi dari Islam

Sementara itu kehadiran partai politik Islam juga ada dampak positif dan negatifnya. Menurut A.M. Fatwa, (AM Fatwa: Satu Islam Multi Partai, hal. 97-99), aspek positifnya adalah:

1. Rakyat akan semakin terbuka menyalurkan aspirasi politiknya, tanpa intimidasi. Udara kebebasan dan pendidikan politik, lambat laun akan menjadikan rakyat semakin rasional, kritis, dan partisipatif dalam mengikutisegala proses politik yang sedang terjadi.
2. Proses sosial politik akan lebih terbuka dan transparan sehingga budaya penggarapan dan intervensi penguasa kepada segala bentuk mekanisme sosial yang berkembang di masyarakat saat itu menjadi nilai tabu.
3. Umat Islam akan diuntungkan karena ada parpol yang concern memperjuangkan aspirasinya. Yang terjadi kemudian adalah adanya mekanisme pemberdayaan visi politik masyarakat.

Adapun aspek negatifnya, yaitu:

1. Bila arus keterbukaan berkembang menjadi anarki, sehingga malah menghancurkan jalanya reformasi dan nilai toleransi umat beragama. Yang kemudian terjadi adalah sikap saling curiga, dan ini membahayakan biduk Indonesia yang terancam karena faktor SARA.
2. Keberagaman pandangan politik Islam di antar partai Islam, akan menyebabkan beragamnya pola dam perilaku politik masing-masing partaiIslam, sehingga antar partai Islam (dan dengan partai lainnya) sangat mungkin terjadi konflik.
3. Kecurigaan idiologis akan diembuskan oleh siapapun yang termasuk dalam kelompok anti Islam dan Islam phobia dalam usaha membuat citra yang buruk terhadap partai Islam, misalnya dengan isu Negara Islam Indonesia (NII) dan Islam antidemokrasi.

Sementara itu, hasil Pemilu 1999, menunjukan bahwa partai-partai Islam mengalami kegagalan dalam perolehan suara. Hanya PPP, PBB, dan Partai Keadilan yang dapat menembus tujuh besar. Gabungan suara partai-partai Islam pun tidak dapat mengungguli perolehan suara PDI-P sebagai pemegang suara mayoritas. Depolitasasi terhadap Islam yang dilakukan rezim Soeharto mungkin menjadi faktor besar yang menyebabkan kecilnya perolehan suara partai Islam. Selain karena perilaku partai Islam yang masih jauh dari ajaran Islam sendiri, menyebabkan umat lebih mempercayakan suaranya kepada partai non Islam, yang notabene kurang memperjuangkan kepentingan umat Islam.

Namun disamping itu, kegagalan tersebut dapat dipandang sebagai blessing in disguise bagi para pemimpin politik muslim. Kegagalan tersebut tidak hanya dapat membawa mereka ke dalam perenungan dan instropeksi, tetapi untuk mencari cara-cara guna mengesampingkan perbedaan-perbedaan di antara mereka, dan menciptakan visi kebersamaan (unified vision).

Disinilah mereka kelihatan semakin menyadari bahwa mereka harus membentuk front politik bersama, jika ingin dan dapat menjadi kekuatan politik efektif. Dan itu telah terbukti lewat Poros Tengah. Lewat kerjasama apik partai-partai Islam plus (PAN & Golkar), berhasil memecah ketegangan antara pendukung Megawati & Habibie yang makin meruncing, dan menggolkan Abdurahman Wahid sebagai presiden.
Tetapi, meskipun Poros Tengah meski cukup berhasil dalam menyelamatkan posisi partai-partai yang tergabung di dalamnya, harus diakui bahwa Poros Tengah bukanlah sebuah front atau koalisi yang betul-betul solid dan tangguh. Sebaliknya, bila dilihat pembentukan Poros Tengah merupakan sebuah political expendiency, baik secara internal diantara partai-partai Islam maupu secara eksternal menghadapi kekuatan politik lainnya (AM Fatwa: Satu Islam Multi Partai, hal. 25).

Format Baru Politik Islam di Masa Depan

Untuk itu, guna membentuk format baru politik Islam maka harus menghindari kesalahan-kesalahan seperti yang dilakukan di masa lalu, yaitu:

1. Kalangan Islam kerap kali gampang atau lebih suka marah ketimbang melakukan politisasi. Kemarahan adalah luapan emosional spontan yang tidak memiliki target, agenda, dan platform. Sementara melakukan politisasi berarti melakukan aksi atau gerakan yang mempunyai target, agenda, platfrom, serta berjangka panjang, bahkan permanen.
2. Kalangan Islam sering lebih senang mengurusi kulit/artifisial, daripada isi/substansi.
3. Politik kalangan Islam lebih terpesona pada keaktoran (figur,pelaku), bukan pada isme atau wacana yang diproduksinya. Sejarah politik Islam di masa orde baru menunjukan betapa kalangan Islam sering terjebak mendefinsikan kawan atau lawan berdasarkan figur atau keaktoran, bukan isme atau wacana.
4. Politik kalangan Islam sering dilakukan sebagai reaksi, bukan proaksi. Agenda dan opini publik biasanya diciptakan oleh kalangan lain, dan kalangan Islam sibuk berekasi atas agenda, atau opini yang telah terbentuk itu.
5. Kalangan Islam sangat kerap dan senang membentuk kerumunan, dan bukan barisan. Sebuah kerumunan walau terdiri dari banyak orang, namun sangat rentan karena tidak memiliki agenda, platform, kepemimpinan, rencana aksi, yang dikonsensuskan bersama.

Kekeliruan-kekeliruan politik itulah yang menjadi sebab terpenting dari kekalahan politik kalangan Islam selama ini. Dimana hal tersebut telah melatarbelakangi terbangunya politik Islam sebagai sebuah ‘fenomena gigantisme’: sesuatu yang secara fisik besar namun sebetulnya penuh dengan masalah dan penyakit. Lantaran kekeliruan yang dilakukannya, maka Islam berhasil menjadi mayoritas statistik, tetapi gagal menjadi mayoritas politik.

Sesuai karakteristik partai yang berjuang dengan tahapan (gradual/tadarruj), PK menganggap, alangkah baiknya jika energi yang tersisa yang dimiliki umat Islam difokuskan terlebih dahulu untuk menyiapkan landasan-landasan bagi tegaknya syariat Islam. Landasan tersebut, menurut Sekretaris Jenderal Partai Keadilan, Anis Matta, Lc. adalah sebagai berikut;

Pertama, adanya komitmen dan kekuatan akidah pada sebagian besar kalangan kaum muslimin, yang menandai kesiapan ideologis untuk hidup dengan sistem Islam pada seluruh tatanan kehidupan, serta kekuatan akidah untuk menampilkan syariat Islam dalam kehidupan di lingkungan mereka secara mempesona.

Kedua, supremasi pemikiran Islam di tengah masyarakat sehingga muncul kepercayaan umum bahwa secara konseptual Islamlah yang paling siap menyelamatkan bangsa dan negara. Dengan begitu Islam menjadi arah yang membentuk arus pemikiran nasional.

Ketiga, sebaran kultural yang luas di mana Islam menjadi faktor pembentuk opini publik dan –untuk sebagiannya- tersimbolkan dalam tampilan-tampilan budaya, seperti pakaian, produk kesenian, etika sosial, istilah-istilah umum dalam pergaulan dan seterusnya.

Keempat, keterampilan akademis yang handal untuk dapat mentransformasi (legal-drafting) ajaran-ajaran Islam ke dalam format konstitusi, undang-undang dan penjabaran hukum lainnya.

Kelima, kompetensi eksekusi yang kuat dimana ada sekelompok tenaga leadership di tingkat negara yang visioner dan memiliki kemampuan teknis untuk mengelola negara. Merekalah yang menentukan –di tingkat aplikasi- seperti apa wajah Islam dalam kenyataan dan karenanya menentukan berhasil tidaknya proyek Islamisasi tersebut.

Keenam
, kemandirian material yang memungkinkan bangsa kita tetap survive begitu kita menghadapi isolasi atau embargo.

Ketujuh
, kapasitas pertahanan yang tangguh, sebab tantangan eksternal yang mungkin kita hadapi tidak terbatas pada gangguan ekonomi, tapi gangguan pertahanan.

Kedelapan, koneksi internasional yang akan memungkinkan kita tetap eksis dalam percaturan internasional, atau tetap memiliki akses keluar begitu menghadapi embargo atau invasi.

Kesembilan, tuntunan politik yang ditandai dengan adanya partai-partai politik –bersama publik- yang secara resmi meminta penerapan syariat Islam di tingkat konstitusi.
author

a wife, a mom, a blogger, a survivor of ITP & Lupus, a writer, author, a counselor of ITP & Lupus autoimmune, a mompreuneur, a motivator, a lecturer.