bunga

Membangun Impian Bersama Di Dunia Literasi Medan


Membangun Impian Bersama Di Dunia Literasi Medan
(Dream to Reality in Medan’s Literacy)


Bagi sebagian orang, mungkin pepatah ‘buku adalah gudang ilmu’ terlalu sederhana atau ada yang berpikiran bahwa ‘buku hanya sekedar museum kata-kata’, tetapi tidak bagi LRS Medan! Sebab bagi LRS Medan; buku adalah sejarah! Buku adalah impian, maka membudayakan membaca adalah harapan terbesar yang diusung oleh komunitas ini.
Sebenarnya tidak berlebihan jika LRS (Leutika Reading Society) atau yang lazim disebut Komunitas Baca Leutika begitu antusias membudayakan minat baca, mengingat aktivitas membaca bukan hanya membuka cakrawala berpikir tetapi juga jendela dunia. Bahkan seorang Hasan Al Banna pernah berujar, bahwa penulis yang baik adalah pembaca yang baik.

Didorong oleh motivasi untuk menumbuhkembangkan minat baca, Evi Andriani (Mahasiswa USU) menawarkan diri untuk menjadi koordinator Leutika Reading Society (LRS) cabang Medan, LRS merupakan salah satu gebrakan penerbit Leutika Publisher untuk memajukan dunia literasi di Indonesia sebab hakikatnya tugas penerbit tidak berhenti pada mencari naskah untuk kemudian menerbitkannya ke dalam bentuk buku, namun penerbit juga sebagai poros hadirnya bahan bacaan bagi masyarakat, jadi secara otomatis harus berpikir bagaimana menggerakkan lingkungan sekitar supaya giat dalam membaca, maka tepat pada hari Kamis, 21 Oktober 2010 LRS Medan resmi dibentuk.
Komunitas Baca Leutika berisi sekumpulan mahasiswa, pelajar dan ibu rumah tangga yang candu membaca. Bukan hanya sebagai ajang kumpul-kumpul membaca saja, tetapi di komunitas ini juga diadakan pelatihan kepenulisan. Tujuannya tentu saja untuk mencari penulis-penulis baru yang berpotensi, maka tak heran seiring hari berganti anggota komunitas ini mengalami penambahan yang signifikan, dari yang semula hanya dihadiri tiga orang, kini telah mencapai lima puluh orang.



Membangun Peradaban Lewat Membaca

Pertemuan pertama LRS Medan dilaksanakan di Taman Budaya Sumatera Utara pada Hari Minggu tanggal 05 Desember 2010. Namun yang hadir hanya tiga orang saja. Namun, sekalipun hanya sedikit yang hadir tidak menyurutkan semangat untuk membangkitkan budaya baca di Medan, maka diskusi tetap berjalan penuh antusias. Pada pertemuan perdana inilah, LRS Medan langsung menerapkan sistem pinjam buku gratis. Alhasil, buku yang menumpuk menjadi santapan lezat bagi ketiganya. Hanya saja, melihat sedikitnya peserta yang hadir, maka Evi Andriani selaku koordinator merasa perlu mencari solusi. Berdasar pemikiran Nurul Fauziah, dan Abdillah Putra Siregar tercetuslah gagasan bahwa LRS Medan merupakan oposisi komunitas. Artinya, LRS Medan mengusung misi menyatukan mahasiswa-mahasiswa yang bernaung di berbagai komunitas untuk bersama-sama membudayakan membaca demi pengembangan ranah intelektual. “Sudah saatnya membangun peradaban lewat Membaca,” Ujar Evi Andriani memotivasi kedua rekannya.




Gambar.1 Pertemuan LRS perdana di Taman Budaya tanggal 05 Desember 2010.


***
Menapak Impian Bersama LRS Medan


Setelah tertatih-tatih mencari anggota, akhirnya LRS Medan mengalami perkembangan yang cukup membahagiakan. Mulailah sekumpulan mahasiswa dari berbagai komunitas seperti FLP Medan, Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK), Komunitas Tanpa Nama (KONTAN), Komunitas KOMA, Komunitas Mahasiswa Pecinta Sastra Indonesia (KOMPENSASI), dan lain-lain bersedia berperan serta dalam membudayakan membaca sebagai salah satu jalan menapak impian.

Akhirnya, pada pertemuan kedua tanggal 12 Desember 2010 diadakan pertemuan kembali di Taman Budaya Medan dan membahas tentang pembuatan agenda yang telah disepakati bersama sehingga komunitas ini bukan saja untuk menambah minat tetapi juga minat menulis dari seluruh teman-teman komunitas khususnya dan masyarakat Medan umumnya. Dalam pertemuan ke dua inilah, tercapai kesepakatan setiap Minggu ke 2 dan ke 4 akan diadakan pertemuan antar komunitas Leutika Reading Society (LRS), Membuat pelatihan menulis, yang akan diisi oleh para anggota serta mengundang para penulis senior di Medan, tidak ketinggalan meminjamkan buku-buku secara gratis, atau bisa bertukar buku agar filosofi ‘buku adalah jendela dunia’ benar-benar bukan hanya sekedar wacana tetapi benar nyata adanya.

Pertemuan kedua LRS tanggal 12 Desember 2010


Semangat kebangkitan membaca terasa membuncah dalam diri para anggota, seperti yang dituturkan oleh Setiawati, salah seorang anggota LRS Medan bahwa komunitas baca ini memberi suntikan motivasi untuk menjadikan buku sebagai santapan intelektual. Terbukti, di setiap pertemuan LRS Medan, selalu saja ada kesan yang mendalam dari buku-buku yang dipinjamkan, kesan ini terlihat dari resensi buku yang dibuat oleh para anggotanya. Ya, setiap meminjam buku, para anggotanya diharuskan membuat resensi buku sebagai bukti bahwa buku yang dipinjam benar-benar dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Bahkan, seiring perkembangannya beberapa resensi buku yang ditulis oleh para anggota LRS Medan terbit dibeberapa media Massa, sungguh suatu berkah yang luar biasa melihat budaya membaca berdampingan dengan budaya berkarya.

Melihat potensi anggota dalam kepenulisan, maka pertemuan LRS Medan tertanggal 27 Maret 2011 di Taman Budaya Sumatera Utara, mengadakan bedah buku, “The Miracle of Writing, Memunculkan Keajaiban Menulis” karya M. Iqbal Dawami. Dari diskusi ini muncul ide untuk membuat membuat sebuah buku. Pilihan tema jatuh pada budaya Medan. Mengapa tentang “budaya” Medan? Karena untuk memperkenalkan budaya Sumatera Utara kepada nasional sehingga menambah daya tarik para wisatawan untuk datang dan mengenal kota Medan dan daerah lainnya di Sumatera tara. Menceritakan realitas kehidupan penduduk di Medan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai budaya yang tertanam di dalam kehidupan. Untuk memuat semua naskah lebih dari 50 cerita, maka dibuat sebuah ide oleh teman saya di LRS untuk membuat Flash Fiction (FF) yaitu cerita pendek dengan panjang cerita maksimal 300 kata.
***

Kampungku Kampoeng Horas, Mana Kampungmu?

Suatu kebangaan ketika ada yang betanya, darimana asalmu kemudian penuh semangat menjawab; Medan! Lalu sang penanya menyebutkan; Horas, Bah! Yakni, sebuah sapaan khas Medan, itulah yang dialami oleh Evi Andriani, ketika mengecap pendidikan S1 di Jogjakarta. Sepertinya, Medan menjadi sumber kekuatan bagi sebagian orang untuk mengungkapkan identitas tanah kelahiran. Berdasar atas itulah, maka kumpulan karya yang akan diterbitkan oleh LRS Medan mengambil judul; Kampoeng Horas!

Begitulah, luar biasanya semangat yang menggelegak dalam komunitas ini. Maka, tak salah RS Medan, pada tanggal 15 Januari 2011 menerima penghargaan “Mari Menulis” yang dalam hal ini diwakilkan kepada Evi Andriani selaku koordinator LRS Medan.
Tentunya piagam perhargaan tak bisa dijadikan tolok ukur telah suksesnya membudayakan membaca di Medan, namun setidaknya ini semain memotivasi kita bahwa Medan bisa menjadi salah satu wisata baca komunitas, sehingga misi untuk memuliakan hidup lewat tulisan dapat benar-benar terwujud sesuai harapan. Begitulah, LRS Medan terus berpacu untuk membangun sebuah dunia literasi di Kota Medan. Bagi yang ingin merasakan sensasi wisata baca, bagi yang ingin memuliakan hidup lewat kata-kata, maka LRS Medan mengajak bergabung di dalamnya.

“Bukankah Tuhan berfirman; Bacalah! Maka, bagaimana mungkin kita bisa mengingkari kemuliaan membaca, semoga dunia baca di kota Medan semakin berkembang serta diiringi dengan lahirnya para penulis Muda sebagai bagian dari regenerasi sastrawan di Sumatera Utara.” Pungkas Evi Andriani, mengakhiri.



Gambar : Piagam Penghargaan Mari Menulis



Gambar : Pertemuan LRS ke enam di Taman Budaya Medan

Medan, 15 September 2011

(Dimuat di Jurnal Medan, 18 September 2011)