Al-Qashashu Junudulloh...,
ƸӜƷ.¸¸✿¸.•❤•.❀.ƸӜƷ.❀.•❤•.¸✿¸¸.ƸӜƷƸӜƷ.¸¸✿¸.•❤•.❀.ƸӜƷ.❀
--------------------------------------********** ------------------------
Adalah Imam Abu Hanifah lebih senang mempelajari kisah-kisah para ulama dibanding menguasai bab fiqih. Beliau rahimahullah mengatakan, “Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.”
Al-Qashashu junudullah, Kisah adalah para tentara Allah. Begitulah para ulama' menggambarkan betapa dahsyatnya sebuah kisah. Dan kisah yang paling indah -setelah kisah dalam al-Qur’an- adalah kisah Rasululloh dan tiga generasi terbaik umat ini, Tsalatsatul Qurun al-Mufaddhalah. Merekalah para pengukir sejarah yang akan terkenang sepanjang masa walaupun mereka sudah berkalang tanah berabad-abad lamanya. Tiada satu peradaban pun selain Islam yang mampu melahirkan generasi-generasi seperti mereka. Mereka ibarat pelita yang tak kan pernah padam sinarnya dan akan tetap menerangi hati orang-orang beriman setelahnya. Dan kita akan banyak mengambil pelajaran ketika membaca sejarah hidup mereka.
Dengan membaca kisah mereka, kita akan belajar ikhlas; Adalah Robi' bin Khutsaim, tabi'in yang selalu mengisi malamnya dengan qiyam dan menangisi dosa-dosanya hingga membuat ibunya iba karena tak kuasa melihat buah hatinya yang menangis di sepanjang malamnya. Kata ibunya, "Wahai anakku, adakah engkau membunuh seseorang sehingga engkau menangis seperti ini. Biarlah aku meminta maaf kepadanya dan ia pasti memaafkanmu bila melihatmu menderita seperti ini." "Ibu, ya aku telah membunuh diriku sendiri dengan lumuran dosa-dosaku." Jawab Robi' kepada ibunya. Begitulah keadaan tabi'in agung ini setiap malamnya. Keikhlasan beliau tampak karena ia tidak pernah shalat sunah di masjid kecuali hanya sekali sepanjang hayatnya.
Begitu juga dengan Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Sepanjang malam, ia menyusuri gelapnya malam dengan membawa gandum yang ia bagi-bagikan kepada seratus keluarga penduduk madinah yang miskin. Mereka semua tidak pernah tahu siapa yang memberikan gandum itu di depan rumahnya. Ketika Ali bin Husain meninggal dunia; mereka baru tahu bahwa Ali adalah lelaki misterius yang selama ini mereka cari. Buktinya, ada tanda hitam yang ada di pundaknya. Keikhlasan itu selalu mengalirkan kekaguman yang tak berkesudahan. Subhanalllah.
Dari mereka juga, kita belajar rasa takut kepada Allah Ta'ala. Adalah Rasululloh صلى الله عليه وسلم pernah menangis sepanjang malam hanya karena QS. Ali Imran ; 190 turun. Padahal pada saat itu, kulit beliau dengan kulit 'Aisyah sudah menempel. Namun karena ayat itu, Rasululloh صلى الله عليه وسلم mengisi malamnya dengan qiyam dengan air mata yang berlinang sepanjang malam hingga Bilal رضي الله عنه datang untuk mengumandangkan adzan. Bilal pun ikut menangis karena melihbeliau, at orang yang dicintainya, menangis padahal dosa-dosa beliau صلى الله عليه وسلم yang lalu dan yang kemudian, sudah diampuni oleh Allah Ta'ala. Jawab beliau, "Tidakkah pantas bila aku menjadi hamba yang bersyukur?" Ya Rasulallah, salamun 'alaik….., kita pun belajar dari Abu Bakar ash-Shiddiq yang selalu menangis ketika membaca al-Qur’an, hatta menjadi imam sekalipun. Kiita juga belajar itu dari khalifah yang syetan lari bila bertemu dengannya, yaitu Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu yang pernah sakit karena mendengar ayat al-Qur’an ketika sedang beronda malam selama sebulan, sedang para shahabat tidak pernah tahu apa gerangan yang menyebabkan Umar yang terkenal kuat dan gagah itu sakit.
Dari mereka juga, kita belajar cara menghormati panggilan Allah. Adalah al-A’masy tidak pernah ketinggalan shaf pertama selama kurang lebih 70 tahun, sedangkan sahabatnya Waki’ selama lebih dari 60 tahun tak pernah mengqadha’ satu raka’atpun. Dari Abu Hayyan dari bapaknya,” Rabi’ bin Khaitsam menderita lumpuh sehingga harus dituntun menuju masjid, dikatakan padanya,” Engkau telah diberi keringanan”, Rabi’ berkata,” Aku mendengar “hayya ala ash shalah” jika engkau mampu datangilah seruan itu meski dengan merangkak”.
Ketika Katsier bin Abi Al Hims ditanya tentang sebab dirinya yang sama sekali tidak pernah lupa dalam shalat, padahal beliau telah menjadi Imam penduduk Himsa selama 60 tahun, beliau berkata,” Ketika masuk masjid dalam hatiku hanya ada Allah”.
Seorang ahli hadits yang tsiqah, Bisyr bin Al Hasan dijuluki Ash Shaffi karena beliau melazimi shaf pertama di masjid Bashrah selama 50 tahun. Demikian pula Ibrahim bin Maimun Al Maruzi, seorang tukang celup dan pengukir emas dan perak, yang tidak melanjutkan pukulan palunya bila adzan sudah berkumandang, walaupun palu sudah terangkat.
Seorang Qadhi wilayah Syam, Sulaiman bin Hamzah Al Maqdisi berkata,” Aku belum pernah shalat wajib sendirian kecuali hanya dua kali dan rasa-rasanya aku belum menunaikan shalat tersebut”, padahal umur beliau telah mendekati 90 tahun. Begitulah yang mereka lakukan, maka jadilah seperti mereka atau jika tidak engkau tidak akan pernah bertemu mereka, sebagaimana al-Qawariri, guru Imam Bukhari dan Imam Muslim yang mengatakan,” Belum pernah sekalipun aku ketinggalan shalat isya’ berjama’ah. Suatu malam seorang tamu datang kerumahku, akupun sibuk melayaninya hingga tertinggal shalat isya’ di masjid. Aku keluar menuju masjid-masjid Bashrah tapi kulihat orang-orang telah selesai shalat dan masjid pun telah ditutup, akupun pulang ke rumah dan berkata pada diri sendiri, “Dalam hadits dikatakan bahwa shalat berjama’ah bernilai 27 kali di banding shalat sendirian” maka aku shalat isya’ sebanyak 27 kali, tak lama kemudian aku tertidur, Aku bermimpi seakan aku tengah berkuda bersama satu kaum, kami berpacu, aku terus memacu kudaku namun tetap tidak bisa menyusul mereka. Salah seorang berpaling dan berkata,” Jangan kau paksa kudamu karena engkau tidak akan mampu menyusul kami. Aku berkata,” Mengapa?”. Ia berkata,” Karena kami shalat isya’ berjama’ah sedang engkau sendirian”. Akupun terbangun dan merasa sangat sedih karenanya.”
Dari mereka juga, kita belajar kewara'an, menjauhi sesuatu karena takut terjerumus pada yang haram. Kita belajar itu dari Abu Bakar yang memuntahkan makanannya lantaran diberitahu bahwa itu adalah hasil 'paranormal buatan' budaknya; dari Umar bin Abdul Aziz yang memasukkan kardus misk ke dalam baitul mal dengan menutup hidupnya agar tidak memdapatkan baunya; dari Abu Hanifah yang selama 7 tahun tidak mau memakan daging kambing hanya karena ada kambing yang hilang pada saat itu; dari Ibnu Mubarak yang rela berjalan dari Marwa menuju Syam hanya karena lupa mengembalikan pena yang dipinjamnya; dari Sufyan bin Uyainah yang menjadi buruh kebun korma tanpa pernah merasai dan mencicipi buahnya; dari Ibrahim bin Adham, yang pernah kembali dari baitul maqdis menuju Kufah hanya untuk mengembalikan sebiji korma milik pedagang yang terbawa olehnya ketika membeli.
Dari mereka juga, kita belajar jihadnya mereka di jalan Allah Ta'ala. Kita melihat betapa dengan melihat kisah heroic yang ditorehkan oleh Khalid bin Walid رضي الله عنه mampu memompa spirit jutaan para pemuda untuk berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Kata-katanya yang senantiasa menghiasi buku-buku sejarah islam dan jihad adalah, "Tidaklah malam bulan madu lebih indah menurutku, daripada malam yang dingin membeku dan penuh salju di tengah-tengah laskar yang menunggu pagi untuk menyerang musuh.
Termasuk kata-kata yang menggetarkan nyali musuh dan menjadi torehan sejarah adalah apa yang diucapkan oleh Abdullah bin Hudzafah ketika ditawari setengah kekuasaan oleh raja romawi pada saat itu, dengan ancaman siksa berupa diceburkan dalam bejana berisi air yang mendidih. Katanya, "Demi Allah, nyawaku hanya satu. Kalau diceburkan ia akan habis, padahal aku suka kalau seandainya aku memiliki nyawa sejumlah bilangan rambutku, lalu meninggal satu demi satu. Semuanya mati di jalan Allah Ta'ala." Raja itu terkagum dibuatnya hingga seluruh tawanan kaum muslimin dibebaskan karena memenuhi permintaan shahabat Abdullah bin Hudzafah. Allahu Akbar !
Deretan prestasi mengangumkan di atas akan semakin panjang dan menghabiskan berjilid-jilid buku bila kita mau sedikit meluangkan waktu untuk bernostalgia membaca kehidupan mereka, para pendahulu kita. Membaca catatan sejarah mereka akan menghadirkan nuansa yang berbeda, seolah kita hidup di tengah mereka; seolah kita bercengkrama dan bermajlis dengan mereka. Dan itu semua bisa kita rasakan, walaupun kita tidak pernah bertatap muka, melihat wajahnya.
Dengan membaca sirah mereka pula, kita akan meneladani hidup mereka yang berisikan catatan-catatan monumental dalam sejarah manusia, yang tidak akan pernah ditorehkan oleh sejarah peradaban manapun selain Islam. Kalau lah kita tidak bisa mengimbangi amal mereka, minimal ada kecintaan yang membuncah dalam dada kita kepada mereka. Anas bin Malik رضي الله عنه pernah mengatakan, "Tiada kebahagiaan yang aku rasakan melebihi kebahagiaan tatkala Rasululloh صلى الله عليه وسلم bersabda, "Anta ma'a man ahbabta, engkau akan dikumpulkan bersama orang yang kamu cinta…." Dan bukti kecintaan tersebut tentunya dibuktikan dengan usaha untuk bisa meneladani mereka, semampu kita.
Ataukah kita hanya berkutat dengan kisah-kisah sampah dan novel-novel ‘cengeng’ ? Nas’alulllahal ‘Afiyah. Semoga bermanfaat.
Dari berbagai sumber.
Salam ukhuwah dari akhukum fillah, Ibnu Abdul Bari el-‘Afifi.
ƸӜƷ.¸¸✿¸.•❤•.❀.ƸӜƷ.❀.•❤•.¸✿¸¸.ƸӜƷƸӜƷ.¸¸✿¸.•❤•.❀.ƸӜƷ.❀
(dari : sahabatku Ibnu)
--------------------------------------********** ------------------------
Adalah Imam Abu Hanifah lebih senang mempelajari kisah-kisah para ulama dibanding menguasai bab fiqih. Beliau rahimahullah mengatakan, “Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.”
Al-Qashashu junudullah, Kisah adalah para tentara Allah. Begitulah para ulama' menggambarkan betapa dahsyatnya sebuah kisah. Dan kisah yang paling indah -setelah kisah dalam al-Qur’an- adalah kisah Rasululloh dan tiga generasi terbaik umat ini, Tsalatsatul Qurun al-Mufaddhalah. Merekalah para pengukir sejarah yang akan terkenang sepanjang masa walaupun mereka sudah berkalang tanah berabad-abad lamanya. Tiada satu peradaban pun selain Islam yang mampu melahirkan generasi-generasi seperti mereka. Mereka ibarat pelita yang tak kan pernah padam sinarnya dan akan tetap menerangi hati orang-orang beriman setelahnya. Dan kita akan banyak mengambil pelajaran ketika membaca sejarah hidup mereka.
Dengan membaca kisah mereka, kita akan belajar ikhlas; Adalah Robi' bin Khutsaim, tabi'in yang selalu mengisi malamnya dengan qiyam dan menangisi dosa-dosanya hingga membuat ibunya iba karena tak kuasa melihat buah hatinya yang menangis di sepanjang malamnya. Kata ibunya, "Wahai anakku, adakah engkau membunuh seseorang sehingga engkau menangis seperti ini. Biarlah aku meminta maaf kepadanya dan ia pasti memaafkanmu bila melihatmu menderita seperti ini." "Ibu, ya aku telah membunuh diriku sendiri dengan lumuran dosa-dosaku." Jawab Robi' kepada ibunya. Begitulah keadaan tabi'in agung ini setiap malamnya. Keikhlasan beliau tampak karena ia tidak pernah shalat sunah di masjid kecuali hanya sekali sepanjang hayatnya.
Begitu juga dengan Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Sepanjang malam, ia menyusuri gelapnya malam dengan membawa gandum yang ia bagi-bagikan kepada seratus keluarga penduduk madinah yang miskin. Mereka semua tidak pernah tahu siapa yang memberikan gandum itu di depan rumahnya. Ketika Ali bin Husain meninggal dunia; mereka baru tahu bahwa Ali adalah lelaki misterius yang selama ini mereka cari. Buktinya, ada tanda hitam yang ada di pundaknya. Keikhlasan itu selalu mengalirkan kekaguman yang tak berkesudahan. Subhanalllah.
Dari mereka juga, kita belajar rasa takut kepada Allah Ta'ala. Adalah Rasululloh صلى الله عليه وسلم pernah menangis sepanjang malam hanya karena QS. Ali Imran ; 190 turun. Padahal pada saat itu, kulit beliau dengan kulit 'Aisyah sudah menempel. Namun karena ayat itu, Rasululloh صلى الله عليه وسلم mengisi malamnya dengan qiyam dengan air mata yang berlinang sepanjang malam hingga Bilal رضي الله عنه datang untuk mengumandangkan adzan. Bilal pun ikut menangis karena melihbeliau, at orang yang dicintainya, menangis padahal dosa-dosa beliau صلى الله عليه وسلم yang lalu dan yang kemudian, sudah diampuni oleh Allah Ta'ala. Jawab beliau, "Tidakkah pantas bila aku menjadi hamba yang bersyukur?" Ya Rasulallah, salamun 'alaik….., kita pun belajar dari Abu Bakar ash-Shiddiq yang selalu menangis ketika membaca al-Qur’an, hatta menjadi imam sekalipun. Kiita juga belajar itu dari khalifah yang syetan lari bila bertemu dengannya, yaitu Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu yang pernah sakit karena mendengar ayat al-Qur’an ketika sedang beronda malam selama sebulan, sedang para shahabat tidak pernah tahu apa gerangan yang menyebabkan Umar yang terkenal kuat dan gagah itu sakit.
Dari mereka juga, kita belajar cara menghormati panggilan Allah. Adalah al-A’masy tidak pernah ketinggalan shaf pertama selama kurang lebih 70 tahun, sedangkan sahabatnya Waki’ selama lebih dari 60 tahun tak pernah mengqadha’ satu raka’atpun. Dari Abu Hayyan dari bapaknya,” Rabi’ bin Khaitsam menderita lumpuh sehingga harus dituntun menuju masjid, dikatakan padanya,” Engkau telah diberi keringanan”, Rabi’ berkata,” Aku mendengar “hayya ala ash shalah” jika engkau mampu datangilah seruan itu meski dengan merangkak”.
Ketika Katsier bin Abi Al Hims ditanya tentang sebab dirinya yang sama sekali tidak pernah lupa dalam shalat, padahal beliau telah menjadi Imam penduduk Himsa selama 60 tahun, beliau berkata,” Ketika masuk masjid dalam hatiku hanya ada Allah”.
Seorang ahli hadits yang tsiqah, Bisyr bin Al Hasan dijuluki Ash Shaffi karena beliau melazimi shaf pertama di masjid Bashrah selama 50 tahun. Demikian pula Ibrahim bin Maimun Al Maruzi, seorang tukang celup dan pengukir emas dan perak, yang tidak melanjutkan pukulan palunya bila adzan sudah berkumandang, walaupun palu sudah terangkat.
Seorang Qadhi wilayah Syam, Sulaiman bin Hamzah Al Maqdisi berkata,” Aku belum pernah shalat wajib sendirian kecuali hanya dua kali dan rasa-rasanya aku belum menunaikan shalat tersebut”, padahal umur beliau telah mendekati 90 tahun. Begitulah yang mereka lakukan, maka jadilah seperti mereka atau jika tidak engkau tidak akan pernah bertemu mereka, sebagaimana al-Qawariri, guru Imam Bukhari dan Imam Muslim yang mengatakan,” Belum pernah sekalipun aku ketinggalan shalat isya’ berjama’ah. Suatu malam seorang tamu datang kerumahku, akupun sibuk melayaninya hingga tertinggal shalat isya’ di masjid. Aku keluar menuju masjid-masjid Bashrah tapi kulihat orang-orang telah selesai shalat dan masjid pun telah ditutup, akupun pulang ke rumah dan berkata pada diri sendiri, “Dalam hadits dikatakan bahwa shalat berjama’ah bernilai 27 kali di banding shalat sendirian” maka aku shalat isya’ sebanyak 27 kali, tak lama kemudian aku tertidur, Aku bermimpi seakan aku tengah berkuda bersama satu kaum, kami berpacu, aku terus memacu kudaku namun tetap tidak bisa menyusul mereka. Salah seorang berpaling dan berkata,” Jangan kau paksa kudamu karena engkau tidak akan mampu menyusul kami. Aku berkata,” Mengapa?”. Ia berkata,” Karena kami shalat isya’ berjama’ah sedang engkau sendirian”. Akupun terbangun dan merasa sangat sedih karenanya.”
Dari mereka juga, kita belajar kewara'an, menjauhi sesuatu karena takut terjerumus pada yang haram. Kita belajar itu dari Abu Bakar yang memuntahkan makanannya lantaran diberitahu bahwa itu adalah hasil 'paranormal buatan' budaknya; dari Umar bin Abdul Aziz yang memasukkan kardus misk ke dalam baitul mal dengan menutup hidupnya agar tidak memdapatkan baunya; dari Abu Hanifah yang selama 7 tahun tidak mau memakan daging kambing hanya karena ada kambing yang hilang pada saat itu; dari Ibnu Mubarak yang rela berjalan dari Marwa menuju Syam hanya karena lupa mengembalikan pena yang dipinjamnya; dari Sufyan bin Uyainah yang menjadi buruh kebun korma tanpa pernah merasai dan mencicipi buahnya; dari Ibrahim bin Adham, yang pernah kembali dari baitul maqdis menuju Kufah hanya untuk mengembalikan sebiji korma milik pedagang yang terbawa olehnya ketika membeli.
Dari mereka juga, kita belajar jihadnya mereka di jalan Allah Ta'ala. Kita melihat betapa dengan melihat kisah heroic yang ditorehkan oleh Khalid bin Walid رضي الله عنه mampu memompa spirit jutaan para pemuda untuk berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Kata-katanya yang senantiasa menghiasi buku-buku sejarah islam dan jihad adalah, "Tidaklah malam bulan madu lebih indah menurutku, daripada malam yang dingin membeku dan penuh salju di tengah-tengah laskar yang menunggu pagi untuk menyerang musuh.
Termasuk kata-kata yang menggetarkan nyali musuh dan menjadi torehan sejarah adalah apa yang diucapkan oleh Abdullah bin Hudzafah ketika ditawari setengah kekuasaan oleh raja romawi pada saat itu, dengan ancaman siksa berupa diceburkan dalam bejana berisi air yang mendidih. Katanya, "Demi Allah, nyawaku hanya satu. Kalau diceburkan ia akan habis, padahal aku suka kalau seandainya aku memiliki nyawa sejumlah bilangan rambutku, lalu meninggal satu demi satu. Semuanya mati di jalan Allah Ta'ala." Raja itu terkagum dibuatnya hingga seluruh tawanan kaum muslimin dibebaskan karena memenuhi permintaan shahabat Abdullah bin Hudzafah. Allahu Akbar !
Deretan prestasi mengangumkan di atas akan semakin panjang dan menghabiskan berjilid-jilid buku bila kita mau sedikit meluangkan waktu untuk bernostalgia membaca kehidupan mereka, para pendahulu kita. Membaca catatan sejarah mereka akan menghadirkan nuansa yang berbeda, seolah kita hidup di tengah mereka; seolah kita bercengkrama dan bermajlis dengan mereka. Dan itu semua bisa kita rasakan, walaupun kita tidak pernah bertatap muka, melihat wajahnya.
Dengan membaca sirah mereka pula, kita akan meneladani hidup mereka yang berisikan catatan-catatan monumental dalam sejarah manusia, yang tidak akan pernah ditorehkan oleh sejarah peradaban manapun selain Islam. Kalau lah kita tidak bisa mengimbangi amal mereka, minimal ada kecintaan yang membuncah dalam dada kita kepada mereka. Anas bin Malik رضي الله عنه pernah mengatakan, "Tiada kebahagiaan yang aku rasakan melebihi kebahagiaan tatkala Rasululloh صلى الله عليه وسلم bersabda, "Anta ma'a man ahbabta, engkau akan dikumpulkan bersama orang yang kamu cinta…." Dan bukti kecintaan tersebut tentunya dibuktikan dengan usaha untuk bisa meneladani mereka, semampu kita.
Ataukah kita hanya berkutat dengan kisah-kisah sampah dan novel-novel ‘cengeng’ ? Nas’alulllahal ‘Afiyah. Semoga bermanfaat.
Dari berbagai sumber.
Salam ukhuwah dari akhukum fillah, Ibnu Abdul Bari el-‘Afifi.
ƸӜƷ.¸¸✿¸.•❤•.❀.ƸӜƷ.❀.•❤•.¸✿¸¸.ƸӜƷƸӜƷ.¸¸✿¸.•❤•.❀.ƸӜƷ.❀
(dari : sahabatku Ibnu)