bunga

Umur Adalah Kehidupan



Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh

Alhamdulillah masih diberi nikmat bisa menyapa semua sahabat evi. Berikut ini ada sebuah catatan dari salah satu sahabat evi di Singapore yang dikirimkannya lewat email, ingin evi share kepada semua sahabatku. Semoga bermanfaat ya dan diambil hikmahnya.

.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄



Umur Adalah Kehidupan


by: Anbar Thea


Bila Anda memperhatikan kondisi kaum muslimin kini, Anda dapat membuat hipotesa bahwa kebanyakan orang-orang shalih yang giat beramal, tidak menempuh jalan kebajikan dan berusaha memahami agama kecuali setelah mencapai batas usia 20 tahunan, lebih sedikit atau kurang sedikit. Ini berarti, setiap individu telah kehilangan kesempatan dari sepertiga usianya yang berlalu tanpa optimalisasi dan pemanfaatan yang maksimal. Hal ini berdasarkan hadits Nabi saw.,


عُمْرُ أُمَّتِى مِنْ سِتِّيْنَ سَنَةً إِلَى سَبْعِيْنَ

Usia umatku mulai dari enam puluh tahun hingga tujuh puluh tahun.”[1]


Hal ini sangat mudah untuk dikalkulasikan. Misalnya, seseorang yang shalih menjalani hidup 60 tahun. Maka sisa umurnya tinggal 40 tahun. Dari sisa umur 40 tahun ini, maka perjalanan hidup akan berjalan seperti uraian berikut menurut rutinitas kehidupan mayoritas.

1. Sepertiga umur dihabiskan untuk tidur. Ini jamak dilakukan kebanyakan orang. Malah ada orang yang tidur hingga 12 jam dalam satu hari –na’udzu billah. Itu berarti, setengah hidupnya dihabiskan untuk tidur. Hanya sedikit saja yang tidur kurang dari 8 jam. Dengan demikian, ia telah mengurangi jatah umurnya 13 tahun dari total yang tersisa 40 tahun.
2. Sepertiga umur dihabiskan untuk bekerja. Kondisi ini normal adanya. Namun tak sedikit orang yang melakukan dua jenis pekerjaan atau lebih. Sepertiga umur ini menyita 13 tahun dari 40 tahun.
3. Tinggal tersisa 13 tahun lagi -dengan catatan seseorang hidup selama 60 tahun. Kesempatan inilah yang dihabiskan untuk menunaikan kewajiban-kewajiban agama dan urusan dunia seperti menikah, mengurus anak-anak, mengunjungi kerabat dan teman sejawat, makan-minum, bertamasya, hiburan, shoping, dan lain-lain. Lantas, berapa sisa umur yang tersedia untuk berlomba menejar akhirat dan bersaing meraih nikmat akhirat yang terbaik?

Oleh karena itu, kebiasaan salafusshalih adalah mengurangi jam-jam tidur, kesibukan bekerja, dan memenuhi hajat agar tersedia waktu berlimpah untuk hal-hal yang telah disebutkan di muka. Wallahu a’lam.


Perjalanan hidup Imam Nawawi [2] rahimahullah patut dijadikan panutan, terutama dalam mengeskplorasi waktu yang dimanfaatkan untuk amal-amal shalih. Pola hidupnya benar-benar terkelola dengan baik. Makan, minum, tidur, bekerja diatur seminimalis munkin agar tersedia waktu yang cukup untuk diinvestasikan dalam ketaatan kepada Allah.


Saat pindah dari kampung halamannya Nawa ke Damaskus, Imam Nawawi berlomba dengan waktu. Selama 2 tahun pas, ia tidak pernah membaringkan punggung ke tanah. Ia tidur sembari memegang buku. Tak ada yang menyibukkannya selain menuntut ilmu dan beribadah, mulai shalat malam, shaum yang diiringi sikap zuhud dan wara’, bahkan wara’ dalam hal sekecil apapun. Ia maksimalkan waktu agar tak sedetik pun terbuang percuma. Setiap harinya ia menggali 12 ilmu kepada para syaikhnya. Siang malam tekun tak pernah tergadaikan. Tidur dilakukan setelah lelah menghinggapinya. Waktunya benar-benar dikelola dengan baik.


Ia berkata, “Jika rasa kantuk tak tertahankan, aku bersandar ke buku-buku barang sejenak. Setelah itu, aku kembali bangun.”
Pernah salah seorang temannya menghindangkan makanan enak. Imam Nawawi enggan memakannya. “Aku takut, bila tubuhku berlemak membuat aku cepat tidur.”
Ia tidak makan dan minum setiap siang dan malam harinya selain satu kali makan pada penghujung waktu makan malam dan minum kecuali satu teguk saat sahur.



Tidakkah Anda perhatikan perjalanan hidup orang-orang yang mengoptimalkan waktu dan mereka berlomba dengan waktu. Semua terjadi karena mereka mengetahui betapa berharganya waktu dan limitnyapun begitu singkat.Oleh karena itu mereka memanfaatkannya secara maksimal dan optimal. Perjalanan Imam Nawawi cukup menjadi contoh ideal. Tentu masih banyak,ratusan para pemilik pribadi-pribadi visioner seperti Imam Nawawi yan bagi kita seakan menjadi dongeng. Dalam kehidupan yang tidak terlalu jauh dengan kita, perhatikanlah perjalanan hidup syekh Basyir al-Ibrahimi al_jazairy. Ia menekuni al_qur’an hingga berasil menghafalnya dalam usia 7 tahun. Setelah itu ia tuntaskan hafalan matan-matan dalam pokok-pokok ilmu seperti hadist, bahasa, sastra, syair. Sangat wajar bila ketika ia masuk ke dalam kelompok guru besar dalam usia 14 tahun. Tidak cukup hanya itu, iapun menimba ilmu di negeri Mesir, tanah Hijaz, negeri Syam, dan menimba ilmu dari ulama-ulama sentral dai negeri-negeri tersebut khususnya di Madinah al-munawaroh.

Kematangan ilmu diiringi dengan kematangan emosi. Bersama syekh Ibn Badis memprakarsai berdirinya oranisasi ulama-ulama Aljazair tahun 1913. Hanya berselang 18 tahun tepatnya tahun 1931, organisasi yang didirikannya menjadi pengobar perlawanan melawan penjajah perancis. Bayangkan aktifitas kesehariaannya, ia mengajar di Wahran, salah satu kota di Aljazair sebanyak 10 mata pelajaran dalam sehari, dimulai dari waktu shubuh hingga ‘Isya. Setelah itu ia mengunjungi salah satu pusat studi untuk megajarkan sejarah Islam.Dengan visinya yang demikian besar, Beliau mendirikan 400 sekolah Islam, 200 masjid yang semuanya digunakan untuk mengobarkan semangat perlawanan dan membangkitkan bangsa Aljazair dari keterpurukan. Sungguh hal yang membuat penjajah Perancis menjadi ketar-ketir. Keberadaannya menjadi bom waktu, sehingga akhirnya beliau dibuang di tengah-tengah kegersangan padang pasir.

Sekembalinya dari pengasingan, semangatnya tak pernah padam. Malah tugas yang beliau emban semakin berat, dimana beliau menjadi ujung tombak organisasi ulama setelah Wafatnya Ibn Badis. Tak kenal lelah dihabiskan waktunya untuk berkeliling Aljazair membangkitkan semangat rakyatnya, membangun institut-institut dan sekolah-sekolah yang menjadi benteng terdepan perlawanan. Iapun melihat hasil jerih payahnya dengan kemerdekaan Aljazair tahun 1962 dan tiga tahun kemudian wafat dengan penuh ridha dan bahagia. Semoga Allah mengaruniakan rahmat-Nya. [3]

Sering orang berdalih menutupi kemalasannya dengan mengatakan, Islam itu adalah agama yang komprehensif. Dimana bekerja adalah ibadah. Tidur juga ibadah bila diiringi niat yang baik. Memang benar adanya. Namun kalau kita perhatikan singkatnya waktu di dunia, sedikitnya waktu yang tersisa setelah dihabiskan untuk memenuhi rutinitas hidup manusia mulai dari tidur dan bekerja, tentu akan menjadi sulit bagi kita meraih derajat tertinggi. Karena niat yang baik, dapat dimiliki oleh banyak orang. Namun memaksimalkan waktu dan mengoptimalkan potensi, tidak mampu dilakukan banyak orang. Hanya orang-orang tsiqah saja yang dapat melakukannya. Semoga Allah menolong kita semua.

[1] H.R. Imam At-Tirmidzi dalam Sunan nya, Bab Ma Jaa Fii A’maari Hadzihil Ummati Ma Bainas Sittina Ilas Sab’ina. Derajat hadits ini hasan menurut At-Tirmidzi dan Ibn Hajar. Lihat Tuhfatul Ahwadzi, vol. 6/623-634.

[2] Yahya ibn Syaraf ibn Mura, Mufti Umat, Syaikhul Islam Muhyiddin Abu Zakaria An-Nawawi, Al-Hafizh Al-Faqih Asy-Syafi’i. Dilahirkan tahun 631 di Nawa salah satu perkampungan Hauran sebelah utara Syam. Datang ke Damaskus menuntut ilmu. Mengarang karya-karya masterpiece yang sangat bermanfaat bagi kaum muslimin. Wafat di Nawa tahun 676 dalam usia 45 tahun. Lihat Fawatul Wafiyat, vol. 4, hlm. 264-268; Al-A’lam, vol. 8, hlm. 149-150

[3] An-Nahdhah Al-Islamiyyah, vol. 1, 251-268.
********************************************************************

Semoga catatan ini menabah semangat dan motivasi kita untuk menjadi lebih baik dalam beramal shalih dan tidak mensia-siakan waktu yang ada. Tapi jikalau badan tidak terlalu sehat ya, tetap seperti kata dokter jaga tubuh, tidur yang baik sekitar 6-8 jam. Gunakan waktu yang ada denagn semaksimal mungkin. Jazakumullah khoir ya sahabatku semua.


Wassalamu'alaikum warahmatullah
~Evi A.~
Medan, 31 Agustus 2010