Pluralisme Agama, Pengganjal Kerukunan Umat Beragama
Pluralisme Agama, Pengganjal Kerukunan Umat Beragama
Prolog
Atas nama kerukunan umat beragama, akhir-akhir ini, banyak lagi yang membicarakan gagasan pluralisme atau pluralism agama di Indonesia. Mereka ini terdiri dari berbagai kalangan─mulai dari politisi, budayawan, agamawan sampai akademik. Secara umum dapat dikatakan bahwa kebanyakan orang... yang ditokohkan di kalangan kita beranggapan secara simplistis bahwa “pluralisme adalah toleransi” atau “pluralisme agama adalah toleransi agama”.
Jika ia sekedar bermakna ‘toleransi’ atau ‘toleransi agama’, pertanyaannya, mengapa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005 mengeluarkan fatwa tentang hukum haramnya Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme (atau yang dikenal dengan SIPILIS)? Selain itu, ada juga resolusi Muzakarah Ulama Se-Malaysia, 2006, di Negeri Perak, Malaysia, yang dibacakan oleh Mufti Perak, Datuk Dr. Harussani, yang menegaskan hukum yang sama dengan fatwa MUI tersebut.
Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis akan mencoba mengurai hakikat pluralisme yang hingga kini menjadi perdebatan, dan hubungannya dengan kerukunan umat beragama. Benarkan ruang gerak "pluralisme" ini benar-benar hanya pada ranah sosial? Apakah memang ada perbedaan antara pluralisme sosiologis dan pluralisme teologis? Mari kita lihat!
Definisi dan Doktrin Pluralisme
Anggapan bahwa “pluralisme agama adalah toleransi agama” adalah anggapan subyektif yang jelas-jelas ditolak oleh para pakar dan penganjur pluralisme sendiri. Di Barat, pluralisme memiliki akar yang dapat dilacak jauh ke belakang, tapi yang paling dominan adalah akar nihilisme dan relativisme Barat Postmodern. Sejak awal, postmodernisme ini menjadikan fundamentalisme sebagai musuh utamanya. Dimana dalam hal ini, postmodernisme menjadikan pluralisme sebagai senjatanya. Sebenarnya, postmodernisme itu sendiri dihidupkan oleh semangat pluralisme, kata Akbar S Ahmed dan Ernest Gelner. Tujuannya, kata Peter L Berger, pluralisme itu sebagai ganti sekularisme yang dianggap gagal. Dan dari perut pluralisme inilah, paham 'pluralisme agama' lahir.
Dalam The Golier Webster Int. Dictionary Of The English Language diungkap bahwa pluralisme dipahami dalam dua makna, pertama, adanya pengakuan terhadap kualitas majemuk atau toleransi terhadap kemajemukan. Artinya, toleransi yang dimaksud adalah dimana masing-masing agama, ras, suku dan kepercayaan berpegang pada prinsip masing-masing dan menghormati prinsip dan kepercayaan orang lain. Kedua, pluralisme berupa doktrin, yakni: a). pengakuan terhadap kemajemukan prinsip tertinggi, b) dalam masalah kebenaran, tidak ada jalan untuk mengatakan hanya ada satu kebenaran tunggal tentang suatu masalah, c) berisi ancaman bahwa tidak ada pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya, d) teori yang sejalan dengan relativisme dan sikap curiga terhadap kebenaran (truth), e) dan terakhir, pandangan bahwa di sana tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya (no view is true, or that all view are equally true). (Lihat juga dalam Oxford Advanced Lear ners’ Dictionary of Current English dan Oxford Dictionary of Philosophy).
Dari sisi definisi saja dapat diketahui bahwa pluralisme itu sendiri sudah mengandung pandangan relativitas dalam kebenaran, atau setidaknya, curiga terhadap kebenaran. Pluralisme ini tidak berpegang pada suatu dasar apa pun. Tidak boleh ada kebenaran tunggal. Bahkan dalam satu pengertian, pluralisme mengajarkan bahwa sebenarnya kebenaran itu tidak ada. Walhasil, pluralisme itu bukan hanya doktrin sosial, sebab ia akan selalu menyentuh aspek teologis.
Dalam bukunya, The Desecularization of the World, Peter Ludwig Berger menyatakan, pluralisme dengan dukungan globalisasi akan mengubah pengalaman keberagamaan individu. Lambat laun, ia akan menggeser posisi agama, sebab menjadi fakta kehidupan sosial dan kesadaran individual. Agama tidak lagi menjadi sandaran, baik di tingkat internasional dengan globalisasinya dan nasional dengan demokrasi liberalnya. Akhirnya, otoritas menjadi hak setiap individu. Jika demikian, posisi pluralisme bagi masyarakat lebih kuat dari pada agama, ungkap Berger. Jelasnya, pluralisme menjadi agama baru.
Sementara itu, ungkapan lebih tegas disampaikan oleh Diana L.Eck dalam The Challenge of Pluralism. Menurutnya, pluralisme bukan sekedar toleransi antar umat beragama, tidak pula sekedar menerima pluralitas (diversity). Lebih jauh ia membayangkan bahwa, pluralisme merupakan penyatuan agama-agama, yakni realitas keagamaan yang plural (baca: From Diversity to Pluralism). Karena itu, ia menyarankan agar menerima kebenaran yang ada pada agama lain. Baginya, masing-masing agama memiliki wilayah kebenaranya sendiri. Artinya, Diana meyakini bahwa semua agama itu sama benarnya, yang satu tidak lebih benar dari yang lain. Relativisme menjadi ciri khas pemikiran Diana ini. Jika demikian, sesungguhnya 'sasaran utama' pluralisme adalah agama. Artinya, pluralisme itu tidak bergerak di ranah sosial semata, tapi juga mencakup ke aspek teologis. Oleh karena itu, pluralisme dan pluralisme agama adalah dua paham yang sama.
Selanjutnya, pluralisme agama memiliki sekurang-kurangnya dua aliran besar, pertama, aliran Kesatuan Transenden Agama-agama (transenden unity of religious) yang dicetuskan oleh Fritjhof Schuon; kedua, aliran Teologi Global (global theology) yang dicetuskan oleh John Hick dan Wilfred Cantwell Smith. Dalam aliran Kesatuan Transenden Agama-agama (transenden unity of religious), Schuon menawarkan ide 'pembacaan' agama menjadi dua tingkat, tingkat eksoterik dan esoterik. Perbedaan antar agama ada pada tingkat eksoterik (lahiriah), sedangkan pada aspek esoterik, agama-agama itu menyatu, memiliki Tuhan yang sama sekaligus abstrak dan tak terbatas, terangnya.
Secara kasat mata, pandangan ini sangat bertentangan dengan prinsip tauhid dalam Islam. Dimana ia malah mengajak kita, umat Islam untuk berbuat syirik. Selain itu, dalam idenya ini, Schuon tidak begitu mementingkan aspek eksoterik. Jelas-jelas ini tidak sesuai dengan ajaran Islam. Padahal, aspek eksoterik (syari'ah) itu adalah salah satu misi utama kenabian. Bentuk-bentuk ibadah yang tidak sesuai dengan yang Rasulullah Saw contohkan tidaklah sah. Lebih dari itu, dalam Islam tidak dikenal pemisahan kedua aspek tersebut. Satu sama lain terkait. Untuk mencapai tingkat esoterik yang benar, seorang muslim/muslimah harus melaksanakan syari'ah secara benar, sebagaimana yang dicontohkan Nabi saw.
Demikian halnya dengan aliran Teologi Global (global theology), juga memiliki problem serius. Menurut aliran ini, agama-agama yang ada harus menyesuaikan diri dengan kondisi dan perkembangan sosial budaya masyarakat hari ini. Maksudndya masyarakat yang plural. Universalisasi ideologi Barat adalah tujuan yang hendak dicapai (baca: Dr. Amir al-Roubaie). Demi universalisasi ini, John Hick dan juga Diana L Eck 'melebur' batas agama-agama (ekslusivisme). Akibatnya, ada perubahan radikal dalam masalah Ketuhanan, yaitu dari 'banyak agama' banyak Tuhan, menjadi 'banyak agama' satu Tuhan. Sementara dalam hal pengetahuan akan 'Tuhan dan kebenaran', Hick mengatakan bahwa itu sifatnya relatif (baca: An Interpretation of Religion).
Jika demikian halnya, maka paham pluralisme atau pluralisme agama bukan solusi untuk mempererat hubungan antar umat beragama. Sebaliknya, ia bagai duri dalam hubungan tersebut. Sebab kenyataannya, sikap saling menghormati antar umat beragama itu berasal dari saling memahami akan perbedaan masing, bukan malah meleburnya sebagaimana yang ditawarkan oleh paham pluralisme tersebut. Jika tidak ada perbedaan, lalu untuk apa toleransi? Lagi pula, hal ini hanya ada di batas angan, mustahil terjadi, karena perbedaan itu nyata.
Paham Pluralisme dalam Intern Agama: Kasus Islam
Paham Pluralisme agama tidak hanya menjadi duri bagi kerukunan umat beragama, tapi juga intern agama. Akibat masuknya cara pandang pluralis menyangkut persoalan Ahmadiyah dalam Islam misalnya, sampai hari ini tidak kunjung selesai. Padahal kesesatan Ahmadiyah telah dipertegas dalam fatwa MUI pada tahun 1980 dan diperkuat fatwa MUI tahun 2005. Juga ditegaskan oleh hasil penelitian Balitbang Depag RI Jakarta 1995, pernyataan Pakem tahun 2004, dan pernyataan Bakorpakem tahun 2008. Selain itu, dalam perspektif negara Indonesia yang memiliki UU No 1/PNPS/1965 yang baru-baru ini dipertahankan oleh Mahkamah Konstitusi, kelompok Ahmadiyah yang menyebarkan ajaran Islam versi Mirza Ghulam Ahmad sang nabi palsu, jelas-jelas telah melanggar UU tersebut.
Namun karena pihak-pihak yang mendukung Ahmadiyah melihat dari kaca mata pengakuan atas adanya ragam keyakinan semata, maka studi dan kajian para ulama tersebut menjadi tak bermakna. Melihat Ahmadiyah, ibarat seorang pencuri mengambil barang berharga di sebuah rumah dan menghabisi semua penghuninya. Ketika hukuman dijatuhkan pada si pencuri sesuai perbuatannya, masyarakat ramai, bicara tentang HAM. Tetapi mengapa tidak bicara HAM pada pencurinya? Ya, mengapa dan mengapa?
Ketika negeri ini dibangun ada tiga model nation state yang dianut dunia dalam soal hubungan agama dan negara: pertama, Model sekularisme yang menyerahkan agama sebagai urusan individu dan tak diurus oleh agama. Kedua, Model komunisme, agama dimusuhi dan diberantas oleh negara, ini model negara anti agama. Dan ketiga, Model teokrasi, salah satu agama dijadikan dasar negara.
Para pendiri Republik ini, telah mendiskusikan tiga model itu, sebagian setuju dengan salah satu model tapi yang lain menolaknya. Ketika tak diperoleh kesepakatan, "Negeri Pancasila" diterima sebagai konsensus dan perjanjian bangsa ini. Konsensus ini membuahkan sikap penerimaan Hindu, Buda, Kristen dan Islam, dan menolak agama lainnya, termasuk sekte-sekte yang dipandang menyimpang dari agama pokoknya. Tetapi pada Era Orde Baru, Suharto dengan cara-cara diktator memaksakan penerimaan Aliran Kepercayaan. Walaupun ketika itu ditolak keras oleh mayoritas bangsa ini.
Ketika Ahmadiyah diperlakukan keras oleh sebagian bangsa ini, mereka disalahkan dengan tuduhan, "Melakukan kekerasan atas nama agama." Bukankah Ahmadiyah telah disepakati oleh pemeluk Islam sebagai sekte yang menyimpang. Mengapa bukan pemerintah yang disalahkan, membiarkan sekte itu berkembang subur? Tidakkah ini sebagai sebuah pelanggaran terhadap konsensus dasar?
Yang lebih mengherankan lagi, orang memandang itu dari kacamata HAM. Padahal kita tahu, HAM itu hasil dari produk negara-negara bermodel sekularisme. Mereka tak memiliki sistem nilai karena menolak ajaran agama menjadi bagian dari sistem kenegaraan. Sementara kita tahu ajaran agama (agama manapun) adalah sebuah sistem nilai yang dipakai oleh pemeluknya. Tapi mengapa negeri Pancasila ini memakai HAM, seperti yang dipakai negara sekuler? Menurut hemat saya Pancasila sebagai dasar negara yang dihasilkan dari kemelut di awal negeri ini akan diibangun, perlu dikaji ulang untuk bisa menghadapi gejolak-gejolak keyakinan keagamaan yang terus berkembang, tetapi tetap didasari semangat konsensus awal itu.
D. Epilog
Melihat uraian di atas, pluralisme atau pluralism agama bukan toleransi. Ia lebih tepat dimaknai sebagai relativisme kebenaran. Semua agama benar karena menuju Tuhan yang sama. Ini bertentangan dengan konsep Islam. Islam mengakui perbedaan, dan siap dialog. Namun bukan berarti kita harus melebur agama ini. Jika peleburan ini yang terjadi, justru kerukunan tidak akan pernah tercapai. Karena itu, jika ide 'pluralisme' diteruskan, semua agama dirugikan. Sebab, mereka tidak lagi bisa menjalankan ajaran agamanya. Tetapi, dipaksa untuk ikut aturan yang dibuat manusia, yaitu pluralisme yang berfungsi sebagai 'agama baru'.
Kita meyakini, tanpa menggunakan istilah yang 'keren-kerenan', bangsa kita bisa terus menjaga dan mempererat tali persaudaraan. Sejak awal, Islam mengakui dan menghargai perbedaan. Sampai-sampai, perbedaan dalam masalah agama tidak boleh menghalangi seorang anak untuk berbuat baik kepada orang tuanya. Namun, untuk masalah keimanan dan kemusyrikan, kita tidak mentolerir. Maksudnya, kita menginginkan perdamaian dan kerukunan. Tetapi, tauhid lebih penting. Faktanya, Islam mampu melakukan ini. Wallahu A'lamu bi ash-Shawab.
(Sebuah artikel yang di tulis dan kirimkan saat ada lomba di facebook Tidak menang dan yang diambil hanya 10 orang saja. Mungkin artikel ini terlalu berat atau lebih cocok di kirim ke media massa ya T_T. Yang penting sudah berusaha. Semangat menulis)
Prolog
Atas nama kerukunan umat beragama, akhir-akhir ini, banyak lagi yang membicarakan gagasan pluralisme atau pluralism agama di Indonesia. Mereka ini terdiri dari berbagai kalangan─mulai dari politisi, budayawan, agamawan sampai akademik. Secara umum dapat dikatakan bahwa kebanyakan orang... yang ditokohkan di kalangan kita beranggapan secara simplistis bahwa “pluralisme adalah toleransi” atau “pluralisme agama adalah toleransi agama”.
Jika ia sekedar bermakna ‘toleransi’ atau ‘toleransi agama’, pertanyaannya, mengapa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005 mengeluarkan fatwa tentang hukum haramnya Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme (atau yang dikenal dengan SIPILIS)? Selain itu, ada juga resolusi Muzakarah Ulama Se-Malaysia, 2006, di Negeri Perak, Malaysia, yang dibacakan oleh Mufti Perak, Datuk Dr. Harussani, yang menegaskan hukum yang sama dengan fatwa MUI tersebut.
Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis akan mencoba mengurai hakikat pluralisme yang hingga kini menjadi perdebatan, dan hubungannya dengan kerukunan umat beragama. Benarkan ruang gerak "pluralisme" ini benar-benar hanya pada ranah sosial? Apakah memang ada perbedaan antara pluralisme sosiologis dan pluralisme teologis? Mari kita lihat!
Definisi dan Doktrin Pluralisme
Anggapan bahwa “pluralisme agama adalah toleransi agama” adalah anggapan subyektif yang jelas-jelas ditolak oleh para pakar dan penganjur pluralisme sendiri. Di Barat, pluralisme memiliki akar yang dapat dilacak jauh ke belakang, tapi yang paling dominan adalah akar nihilisme dan relativisme Barat Postmodern. Sejak awal, postmodernisme ini menjadikan fundamentalisme sebagai musuh utamanya. Dimana dalam hal ini, postmodernisme menjadikan pluralisme sebagai senjatanya. Sebenarnya, postmodernisme itu sendiri dihidupkan oleh semangat pluralisme, kata Akbar S Ahmed dan Ernest Gelner. Tujuannya, kata Peter L Berger, pluralisme itu sebagai ganti sekularisme yang dianggap gagal. Dan dari perut pluralisme inilah, paham 'pluralisme agama' lahir.
Dalam The Golier Webster Int. Dictionary Of The English Language diungkap bahwa pluralisme dipahami dalam dua makna, pertama, adanya pengakuan terhadap kualitas majemuk atau toleransi terhadap kemajemukan. Artinya, toleransi yang dimaksud adalah dimana masing-masing agama, ras, suku dan kepercayaan berpegang pada prinsip masing-masing dan menghormati prinsip dan kepercayaan orang lain. Kedua, pluralisme berupa doktrin, yakni: a). pengakuan terhadap kemajemukan prinsip tertinggi, b) dalam masalah kebenaran, tidak ada jalan untuk mengatakan hanya ada satu kebenaran tunggal tentang suatu masalah, c) berisi ancaman bahwa tidak ada pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya, d) teori yang sejalan dengan relativisme dan sikap curiga terhadap kebenaran (truth), e) dan terakhir, pandangan bahwa di sana tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya (no view is true, or that all view are equally true). (Lihat juga dalam Oxford Advanced Lear ners’ Dictionary of Current English dan Oxford Dictionary of Philosophy).
Dari sisi definisi saja dapat diketahui bahwa pluralisme itu sendiri sudah mengandung pandangan relativitas dalam kebenaran, atau setidaknya, curiga terhadap kebenaran. Pluralisme ini tidak berpegang pada suatu dasar apa pun. Tidak boleh ada kebenaran tunggal. Bahkan dalam satu pengertian, pluralisme mengajarkan bahwa sebenarnya kebenaran itu tidak ada. Walhasil, pluralisme itu bukan hanya doktrin sosial, sebab ia akan selalu menyentuh aspek teologis.
Dalam bukunya, The Desecularization of the World, Peter Ludwig Berger menyatakan, pluralisme dengan dukungan globalisasi akan mengubah pengalaman keberagamaan individu. Lambat laun, ia akan menggeser posisi agama, sebab menjadi fakta kehidupan sosial dan kesadaran individual. Agama tidak lagi menjadi sandaran, baik di tingkat internasional dengan globalisasinya dan nasional dengan demokrasi liberalnya. Akhirnya, otoritas menjadi hak setiap individu. Jika demikian, posisi pluralisme bagi masyarakat lebih kuat dari pada agama, ungkap Berger. Jelasnya, pluralisme menjadi agama baru.
Sementara itu, ungkapan lebih tegas disampaikan oleh Diana L.Eck dalam The Challenge of Pluralism. Menurutnya, pluralisme bukan sekedar toleransi antar umat beragama, tidak pula sekedar menerima pluralitas (diversity). Lebih jauh ia membayangkan bahwa, pluralisme merupakan penyatuan agama-agama, yakni realitas keagamaan yang plural (baca: From Diversity to Pluralism). Karena itu, ia menyarankan agar menerima kebenaran yang ada pada agama lain. Baginya, masing-masing agama memiliki wilayah kebenaranya sendiri. Artinya, Diana meyakini bahwa semua agama itu sama benarnya, yang satu tidak lebih benar dari yang lain. Relativisme menjadi ciri khas pemikiran Diana ini. Jika demikian, sesungguhnya 'sasaran utama' pluralisme adalah agama. Artinya, pluralisme itu tidak bergerak di ranah sosial semata, tapi juga mencakup ke aspek teologis. Oleh karena itu, pluralisme dan pluralisme agama adalah dua paham yang sama.
Selanjutnya, pluralisme agama memiliki sekurang-kurangnya dua aliran besar, pertama, aliran Kesatuan Transenden Agama-agama (transenden unity of religious) yang dicetuskan oleh Fritjhof Schuon; kedua, aliran Teologi Global (global theology) yang dicetuskan oleh John Hick dan Wilfred Cantwell Smith. Dalam aliran Kesatuan Transenden Agama-agama (transenden unity of religious), Schuon menawarkan ide 'pembacaan' agama menjadi dua tingkat, tingkat eksoterik dan esoterik. Perbedaan antar agama ada pada tingkat eksoterik (lahiriah), sedangkan pada aspek esoterik, agama-agama itu menyatu, memiliki Tuhan yang sama sekaligus abstrak dan tak terbatas, terangnya.
Secara kasat mata, pandangan ini sangat bertentangan dengan prinsip tauhid dalam Islam. Dimana ia malah mengajak kita, umat Islam untuk berbuat syirik. Selain itu, dalam idenya ini, Schuon tidak begitu mementingkan aspek eksoterik. Jelas-jelas ini tidak sesuai dengan ajaran Islam. Padahal, aspek eksoterik (syari'ah) itu adalah salah satu misi utama kenabian. Bentuk-bentuk ibadah yang tidak sesuai dengan yang Rasulullah Saw contohkan tidaklah sah. Lebih dari itu, dalam Islam tidak dikenal pemisahan kedua aspek tersebut. Satu sama lain terkait. Untuk mencapai tingkat esoterik yang benar, seorang muslim/muslimah harus melaksanakan syari'ah secara benar, sebagaimana yang dicontohkan Nabi saw.
Demikian halnya dengan aliran Teologi Global (global theology), juga memiliki problem serius. Menurut aliran ini, agama-agama yang ada harus menyesuaikan diri dengan kondisi dan perkembangan sosial budaya masyarakat hari ini. Maksudndya masyarakat yang plural. Universalisasi ideologi Barat adalah tujuan yang hendak dicapai (baca: Dr. Amir al-Roubaie). Demi universalisasi ini, John Hick dan juga Diana L Eck 'melebur' batas agama-agama (ekslusivisme). Akibatnya, ada perubahan radikal dalam masalah Ketuhanan, yaitu dari 'banyak agama' banyak Tuhan, menjadi 'banyak agama' satu Tuhan. Sementara dalam hal pengetahuan akan 'Tuhan dan kebenaran', Hick mengatakan bahwa itu sifatnya relatif (baca: An Interpretation of Religion).
Jika demikian halnya, maka paham pluralisme atau pluralisme agama bukan solusi untuk mempererat hubungan antar umat beragama. Sebaliknya, ia bagai duri dalam hubungan tersebut. Sebab kenyataannya, sikap saling menghormati antar umat beragama itu berasal dari saling memahami akan perbedaan masing, bukan malah meleburnya sebagaimana yang ditawarkan oleh paham pluralisme tersebut. Jika tidak ada perbedaan, lalu untuk apa toleransi? Lagi pula, hal ini hanya ada di batas angan, mustahil terjadi, karena perbedaan itu nyata.
Paham Pluralisme dalam Intern Agama: Kasus Islam
Paham Pluralisme agama tidak hanya menjadi duri bagi kerukunan umat beragama, tapi juga intern agama. Akibat masuknya cara pandang pluralis menyangkut persoalan Ahmadiyah dalam Islam misalnya, sampai hari ini tidak kunjung selesai. Padahal kesesatan Ahmadiyah telah dipertegas dalam fatwa MUI pada tahun 1980 dan diperkuat fatwa MUI tahun 2005. Juga ditegaskan oleh hasil penelitian Balitbang Depag RI Jakarta 1995, pernyataan Pakem tahun 2004, dan pernyataan Bakorpakem tahun 2008. Selain itu, dalam perspektif negara Indonesia yang memiliki UU No 1/PNPS/1965 yang baru-baru ini dipertahankan oleh Mahkamah Konstitusi, kelompok Ahmadiyah yang menyebarkan ajaran Islam versi Mirza Ghulam Ahmad sang nabi palsu, jelas-jelas telah melanggar UU tersebut.
Namun karena pihak-pihak yang mendukung Ahmadiyah melihat dari kaca mata pengakuan atas adanya ragam keyakinan semata, maka studi dan kajian para ulama tersebut menjadi tak bermakna. Melihat Ahmadiyah, ibarat seorang pencuri mengambil barang berharga di sebuah rumah dan menghabisi semua penghuninya. Ketika hukuman dijatuhkan pada si pencuri sesuai perbuatannya, masyarakat ramai, bicara tentang HAM. Tetapi mengapa tidak bicara HAM pada pencurinya? Ya, mengapa dan mengapa?
Ketika negeri ini dibangun ada tiga model nation state yang dianut dunia dalam soal hubungan agama dan negara: pertama, Model sekularisme yang menyerahkan agama sebagai urusan individu dan tak diurus oleh agama. Kedua, Model komunisme, agama dimusuhi dan diberantas oleh negara, ini model negara anti agama. Dan ketiga, Model teokrasi, salah satu agama dijadikan dasar negara.
Para pendiri Republik ini, telah mendiskusikan tiga model itu, sebagian setuju dengan salah satu model tapi yang lain menolaknya. Ketika tak diperoleh kesepakatan, "Negeri Pancasila" diterima sebagai konsensus dan perjanjian bangsa ini. Konsensus ini membuahkan sikap penerimaan Hindu, Buda, Kristen dan Islam, dan menolak agama lainnya, termasuk sekte-sekte yang dipandang menyimpang dari agama pokoknya. Tetapi pada Era Orde Baru, Suharto dengan cara-cara diktator memaksakan penerimaan Aliran Kepercayaan. Walaupun ketika itu ditolak keras oleh mayoritas bangsa ini.
Ketika Ahmadiyah diperlakukan keras oleh sebagian bangsa ini, mereka disalahkan dengan tuduhan, "Melakukan kekerasan atas nama agama." Bukankah Ahmadiyah telah disepakati oleh pemeluk Islam sebagai sekte yang menyimpang. Mengapa bukan pemerintah yang disalahkan, membiarkan sekte itu berkembang subur? Tidakkah ini sebagai sebuah pelanggaran terhadap konsensus dasar?
Yang lebih mengherankan lagi, orang memandang itu dari kacamata HAM. Padahal kita tahu, HAM itu hasil dari produk negara-negara bermodel sekularisme. Mereka tak memiliki sistem nilai karena menolak ajaran agama menjadi bagian dari sistem kenegaraan. Sementara kita tahu ajaran agama (agama manapun) adalah sebuah sistem nilai yang dipakai oleh pemeluknya. Tapi mengapa negeri Pancasila ini memakai HAM, seperti yang dipakai negara sekuler? Menurut hemat saya Pancasila sebagai dasar negara yang dihasilkan dari kemelut di awal negeri ini akan diibangun, perlu dikaji ulang untuk bisa menghadapi gejolak-gejolak keyakinan keagamaan yang terus berkembang, tetapi tetap didasari semangat konsensus awal itu.
D. Epilog
Melihat uraian di atas, pluralisme atau pluralism agama bukan toleransi. Ia lebih tepat dimaknai sebagai relativisme kebenaran. Semua agama benar karena menuju Tuhan yang sama. Ini bertentangan dengan konsep Islam. Islam mengakui perbedaan, dan siap dialog. Namun bukan berarti kita harus melebur agama ini. Jika peleburan ini yang terjadi, justru kerukunan tidak akan pernah tercapai. Karena itu, jika ide 'pluralisme' diteruskan, semua agama dirugikan. Sebab, mereka tidak lagi bisa menjalankan ajaran agamanya. Tetapi, dipaksa untuk ikut aturan yang dibuat manusia, yaitu pluralisme yang berfungsi sebagai 'agama baru'.
Kita meyakini, tanpa menggunakan istilah yang 'keren-kerenan', bangsa kita bisa terus menjaga dan mempererat tali persaudaraan. Sejak awal, Islam mengakui dan menghargai perbedaan. Sampai-sampai, perbedaan dalam masalah agama tidak boleh menghalangi seorang anak untuk berbuat baik kepada orang tuanya. Namun, untuk masalah keimanan dan kemusyrikan, kita tidak mentolerir. Maksudnya, kita menginginkan perdamaian dan kerukunan. Tetapi, tauhid lebih penting. Faktanya, Islam mampu melakukan ini. Wallahu A'lamu bi ash-Shawab.
(Sebuah artikel yang di tulis dan kirimkan saat ada lomba di facebook Tidak menang dan yang diambil hanya 10 orang saja. Mungkin artikel ini terlalu berat atau lebih cocok di kirim ke media massa ya T_T. Yang penting sudah berusaha. Semangat menulis)