My Sweet Home

Kabar gembira buat muslimah pezina...


DIHANTUI DOSA ZINA

Abu ‘Umar Basyier, Majalah Sakinah volume 9 no 5 15 Juni – 15 Juli 2010-06-14, rubric pranikah

Assalaamu’alaikum warahmatullaahiwabarakaatuh
Afwan Ustadz, ana akhwat 23 th, ana punya masalah yang sampai sekarang belum ditemukan jawabannya. Sejujurnya ana pernah melakukan perbuatan dosa besar (zina), Ana selalu dihantui rasa bersalah, lebih-lebih ana begitu takut akan azab Allah.

Alhamdulillah sekarang Ana telah berusaha mengikuti manhaj ulama as-Salaf. Namun semakin sering Ana mengikuti kajian, rasa takut Ana semakin bertambah. Belum lama ini, ada ikhwan yang datang ber-ta’aruf. Kebetulan ikhwan tersebut sudah lama berislam dengan berusaha mengikuti manhaj ulama as-Salaf, tapi Ana takut nantinya ikhwan tersebut kecewa pada Ana karena Ana punya aib. Bukankah laki-laki yang baik untuk wanita yang baik?

Apa yang harus ana lakukan? Sedangkan pernikahan sebulan lagi, mohon jawabannya Ustadz? Syukron.
JAWAB:

Wa’alaikumussalam warahmatullaahiwabarakaatuh
Alhamdulillah. Saya sering menegaskan dalam jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mirip, yang kesimpulannya sebagai berikut:

1. Kewajiban utama bagi pelaku dosa besar
seperti zina misalnya, tak lain adalah bertaubat secara tulus. Tak ada kewajiban yang lebih besar dari itu.

2. Hukum jild atau cambuk bagi pezina yang belum menikah, serta rajam bagi yang sudah menikah bukanlah WAJIB, tapi hanya dianjurkan saja. Itu terbukti dengan Nabi صلي الله عليه وآله وسلم melengos sebanyak tiga kali, baru di kali yang keempat menerima pengakuan seorang wanita pezina, yang meminta dirajam. Para ulama menjelaskan, bila itu wajib, Nabi صلي الله عليه وآله وسلم tak akan melengos hingga tiga kali, untuk menguji ketulusan wanita tersebut. Yakni, tidak WAJIB bagi yang berzina lalu bertobat.

3. Besar kecilnya nilai dosa, juga dilihat dari kapan dan di mana dosa itu dilakukan. Dosa kecil di wilayah al-Haram, digolongkan dosa besar. Mencuri di masa paceklik, di zaman kemiskinan, di mana kaum kaya enggan berzakat, lebih ringan dari mencuri di masa kemakmuran. Itulah, kenapa Umar bin Khattab رضي الله عنه pernah tidak memberlakukan hukum potong tangan bagi pencuri, karena kebanyakan pencuri melakukan pencurian akibat kemiskinan hebat yang melanda mereka.

4. Dosa masa lalu pupus dengan taubat. Wanita pezina boleh menikah dengan pria muslim yang suci, kalau si wanita betul-betul bertaubat. Itu pendapat yang paling benar, seperti dijelaskan panjang lebar oleh al-Imam as-Syaukani رحمه الله dalam Nailul Authaar.

Ukhti yang saya hormati. Coba, kita lebih melihat persoalan pada sisi maslahatnya, dan kita akan melihat betapa Islam adalah agama maslahat, yang mengerti betul hal-hal yang maslahat bagi seorang hamba, di dunia dan di akhirat.

Pertama, mari kita pikirkan maslahat Ukhti yang harus menjalani kewajiban menikah. Kewajiban menikah itu pasti hukumnya. Maka, hal yang pasti ini jangan digagalkan hanya oleh bayangan, kekhawatiran, dan rasa bersalah yang mencekam jiwa. Karena, bila diteliti lebih seksama, setiap kita juga berlumur dosa. Mari, kita renungi bersama firman Allooh,

.....dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (Yusuf:87)

Berzina dosa besar? Betul sekali. Tapi catatlah, bahwa dosa tidak shalat lima waktu itu jauh lebih besar dari dosa berzina. Itu mufakat di kalangan para ulama. Karena mereka hanya berbeda pendapat, apakah orang yang tidak shalat wajib sekali saja, bisa dikatakan kafir keluar dari Islam atau tidak? Selebihnya, mereka sepakat bahwa tidak shalat wajib dosanya lebih besar dari zina, menenggak minuman keras, mencuri, hingga memerkosa sekalipun. Itu mufakat, tak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama.

Sekarang, kita tengok realitas. Bila ada seorang muslimah pezina yang bertaubat, menikah dengan seorang muslim yang dulunya jarang sholat lalu bertaubat, bukankah kondisi si pria lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan wanita tersebut? Karena dosa tidak sholat, jauh lebih besar dari dosa berzina?

Hanya saja, bayangan maksiat berzina atau mencuri, kerap lebih membekas dalam memori. Itu sebenarnya karena kurangnya wawasan kita terhadap hukum-hukum Islam itu sendiri, sehingga orang tidak shalat dianggap lebih tidak membahayakan daripada pezina.

Ini bukan berarti kita mengecilkan arti dosa, termasuk berzina. Siapa pun yang melakukannya, wajib bertaubat. Ia harus menyesali perbuatan itu sedalam mungkin. Tapi, jangan sampai menimbulkan putus asa sedikit pun. Taubat menghapus segalanya. Tinggal, pikirkan bagaimana menjalani hidup sesudahnya, itu saja.

Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman:34)

Kemudian, tak ada kewajiban seorang istri atau suami menceritakan segala dosanya di masa lampau. Apapun itu. Soal bekas pada diri seseorang yang pernah melakukan dosa memang berbeda-beda. Berzina menimbulkan efek fisik yang bisa saja dirasakan. Tapi, bila perzinaan itu sudah ditutup dengan taubat kepada Allah, tak ada keharusan menceritakannya, bahkan bisa jadi menceritakannya dilarang karena bisa menimbulkan kericuhan.

Bolehkah menutupi bekas perzinaan tersebut? Sangat diperbolehkan, bahkan saya menganjurkan demikian. Minumlah –maaf- jamu sari rapet. Cucilah kemaluan dengan air sirih setiap hari, selama beberapa hari sebelum malam pertama. Niscaya kondisi keperawanan akan nyaris sama seperti semula.

Soal darah keperawanan juga tak usah dikhawatirkan dan tak usah memulai obrolan untuk memperbincangkannya. Jujur, lebih banyak suami atau istri yang terkejut melihat darah keperawanan itu, ketimbang sebaliknya.

Mungkin masih ada yang mengganjal, bila suatu saat suami mempertanyakan,”Apakah Engkau masih perawan atau tidak?”

Bagi saya –wallahuA’lamubishshawaab- itu bisa dimasukkan dengan memperbolehkannya berbohong kepada suami atau istri, demi kemaslahatan perkawinan. Tapi, gunakanlah bahasa isyarat, itu lebih baik. Kalau ditanya,”Apa Engkau masih perawan?” Jawab saja misalnya,”Aku masih gadis....,Mas.”

Adanya pertanyaan itu adalah kemungkinannya sangat kecil sekali. Tapi, bila itu terjadi, bagi saya boleh saja seseorang berbohong menutupi aibnya di masa lalu, demi kebahagiaan rumah tangga. Karena, Allah sudah membuka pintu ampunan bagi setiap yang bertaubat.

“Kebohongan” itu adalah untuk menghindari mudharat karena adanya seseorang yang tidak bisa memaafkan dosa yang Allah sendiri saja mengampuninya. Itu merupakan “kebohongan” untuk menghindari sikap zhalim orang yang menghakimi pelaku dosa yang telah bertaubat, dengan emosi dan kemarahannya. Jadi, kebohongan itu sudah tepat pada tempatnya, bila tujuannya menjaga keutuhan rumah tangga, dan menghindari kepanikan orang yang tak mengerti arti taubat sesungguhnya.

Namun, bila kondisi suami terlihat memungkinkan Ukhti untuk berterus terang, karena ia begitu lapang menerima segala kekurangan istrinya, termasuk meskipun ia pernah berzina, apalagi kalau ia yang lebih dahulu bercerita tentang masa lalunya yang ternyata juga sama kelamnya, apalagi ia juga bercerita bahwa ia dahulu sering berzina, maka silahkan menceritakannya.

Asal diyakini bahwa itu tak akan membuatnya marah, lalu menghancurkan mahligai rumah tangga yang sudah terbangun secara baik sebelumnya. Awali dengan pertanyaan misalnya,”Bagaimana kalau istri Mas, dahulu juga banyak melakukan dosa, seperti berzina misalnya?” Bila ia mengatakan, tak masalah, ceritakanlah kepadanya hal itu, dan tunjukkan penyesalan mendalam di hadapannya. Bila perlu, menangislah seiring pengungkapan penyesalan tersebut. Bila itu terjadi dan memungkinkan, alangkah baiknya.

Namun bila hal itu tak memungkinkan, apalagi gelagat bahwa suami adalah jenis orang yang tak mau mendengar aib istri di masa lalu, tutupilah semua itu sebisa mungkin. Bagaimana bila suatu saat ketahuan? Jangan khawatir. Allah tak akan menzhalimi hamba-Nya yang bertaubat. Allah menyukai para hamba-Nya yang bertaubat. Allah pasti melindungi Ukhti. Kalau disebabkan hal itu dia menceraikan Ukhti, catat baik-baik Ukhti yang saya hormati: mungkin Allah telah menyiapkan calon suami yang jauh lebih baik, jauh lebih mengerti kondisi Ukhti, dan jauh lebih berguna buat Ukhti di dunia dan di akhirat. Allah tak akan menzhalimi para hamba-Nya. Ini realita. Doa kami, selalu menyerta.

Baarakallahu laka, wa baaraka’alaika, wa jama’a baina kuma fii khair.

(dari : sahabatku Ahmad Zen)
author

a wife, a mom, a blogger, a survivor of ITP & Lupus, a writer, author, a counselor of ITP & Lupus autoimmune, a mompreuneur, a motivator, a lecturer.