Kajian Akhlak: ENERGI KEJUJURAN
ENERGI KEJUJURAN
Suatu ketika, menginjak usia remaja, Syeikh Abdul Qadir al-Jilaniy berhasrat tinggi berkelana ke penjuru negeri untuk menuntut ilmu. Beliau meminta izin daripada ibunya untuk ke Baghdad bagi menuntut ilmu agama. Sebelum berangkat ibunya berpesan supaya beliau tidak bercakap bohong sedikitpun, “Ibundaku mengikat janji kepadaku untuk berkata jujur dan tidak mengkhianati perjanjiannya”, kata al-Jilani.
Dengan berbekal uang sebanyak 40 dirham dan diletakkan di dalam pakaian Syeikh Abdul Qadir. Berangkatlah beliau ke Baghdad bersama satu kafilah yang kebetulan hendak menuju ke Baghdad. “Pegang kuat-kuat pesanku, agar kau sukses. Berlaku benarlah baik dalam tutur kata mahupun dalam perbuatan supaya engkau beroleh selamat dan dilindungi oleh Allah” kata ibunya kepada al-Jilaniy. Karena kejujuran al-Jilaniy itulah, ketika dalam suatu perjalanan menuntut Ilmu di di Baghdad, beberapa perambok berhasil ia sadarkan dan bertobat di tangan beliau.
Pengalaman al-Jilaniy tersebut menancapkan hikmah tersendiri didalam hatinya. Makanya, setiap murid-murid beliau di Madrasah al-Qadiriyah Baghdad selalu dipesan untuk tidak berkata khianat selama menuntut Ilmu. Dalam nasihatnya, pelajar yang jujur akan memiliki kelebihan sendiri.
Kelebihan itu mungkin saja bisa kita sebut ‘energi’. Jika kita kaji, dalam kejujuran mengandung ‘energi’. Bentuknya bermacam-macam, ada karamah Allah, rizki tak terduga, ketenangan batin, kesuksesan atau kebahagiaan. Apa yang dialami oleh al-Jilaniy di atas merupakan kelebihan karena mampu menyadarkan sekian jumlah perampok dalam usianya yang masih remaja.
Oleh sebab itulah, dalam pandangan para ulama terdahulu, konsep kejujuran, tidak bisa dipisah dalam adab keseharian. Karena, konsep ini akan menjadi motor dan faktor yang mempengaruhi seseorang menyikapi setiap bentuk pemikiran dan persoalan.
Menurut seorang sesorang psikolog orang yang sering berkata tidak jujur (bohong) maka ia akan terbiasa bila tidak berbohong terasa ada keberatan dalam jiwanya. Maka terbiasalah ia berdusta, jika tidak berdusta mulutnya terasa gatal. Pertama kali seseorang berbuat dusta atau berbohong, ia akan merasa menyesal.
Ketika perbuatan bohong atau dusta itu sering dilakukan beberapa kali, ia akan merasa biasa saja, dan mulai pudar rasa penyesalannya.Konsekuensi itu tidak hanya sampai pada taraf ia akan dijauhi orang lain, akan tetapi perbuatan itu berimplikasi pada kadar keimanan. Imam Abu Sa’id al-Qarsyi mengatakan: "Orang jujur itu adalah orang yang mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian. Sehingga ia tidak pernah malu bila kelemahannya terbuka”.
Berarti, orang jujur memiliki dua perspektif positif dalam kehidupannya.
Pertama, dia adalah orang yang sempurna imannya. Karena sempurna, tidak sembarangan ia menjalani setiap detik nafas hidupnya, tidak main-main dengan langkah kakinya. Hal ini menguatkan pendapat al-Jilaniy, bahwa memang akhlak terpuji selalu tergantung dengan konsep keimannannya, sebagaimana ditegaskan oleh al-Wasithy, bahwa jujur itu adalah kebersihan tauhid. Sehingga dengan mengikuti nasihat Imam Abu Sa’id al-Qarsyi di atas, maka ia selalu ingat kematian, setiap aktifitasnya selalu dipertimbangkan, apakah membawa manfaat untuk bekal setelah nyawa ini dicabut atau tidak. Inilah yang disebut manusia cerdas.
Kedua, sifat jujur akan mengisi energy ke dalam pikiran intelektualitas sekaligus spiritualtias. Sifat ini mampu memberi energy positif untuk pengembangan keilmuan dan intelektualitas. Peneliti sejati bukanlah yang selalu menjiplak karya orang atau mengutip secara tidak jujur. Kebiasaan buruk ini justru menurunkan derajat intelektualitasnya. Seorang Professor kami pernah menasihati: “Menjadi peneliti yang baik, mesti mengakui kelemahannya, jika tidak, dia tidak menghasilkan karya yang baik”.
Pengakuan akan kelemahan inilah yang kadang kala tidak ringan dilakukan. Sebagaimana nasihat al-Qarsyi, seharusnya seorang ilmuan tidak malu jika kelemahannya dibuka. Sebab, dengan terbukanya kelemahan, berarti aka nada kesempatan untuk memperbaikinya. Sebaliknya jika dia tidak jujur mengakui kelemahan, namun tetap kukuh menutupi ke-jahilan-nnya, maka pintu untuk mengembangkan diri menjadi pintar tertutup. Tak ada kesempatan untuk tingkatkan derajat keilmuannya karena merasa sudah intelek. Jadilah ia seperti katak dalam tempurung. Ketidak jujuran menghasilkan keangkuhan. Keangkuhan berakibat satisnya tingkat keilmuannya.
Pengakuan jujur akan kelemahan itu juga mesti kita ungkap dalam diri kita dalam bidang ubudiyah dan kemaksiatan. Seorang yang jujur dengan hal ini akan selalu berkata dalam dirinya: “kamu masih nista, banyak dosa, bergeraklah menujur ridla Tuhanmu”!. Berat memang, tapi bagi orang yang angkuh. Orang jenis ini ini menipu dirinya. Ia Ingkar pada hati nurani. Pengakuan ini bisa kita mulai dengan mengkalkulasi dosa setiap harinya. Sediakan waktu sejenak untuk bermuhasabah. Berapa kali kita lakukan dosa hari ini? Kemudian bandingkan, seberapa banyak syukur kita pada Allah SAW?
Jika kita masih tetap saja kukuh membohongi diri, maka perlu dicatat mulut tak akan bisa berbohong di alam kubur kelak. Segalanya akan berlaku sebagaimana adanya kondisi seseorang. Lebiha baik jujur di dunia dengan dihina orang, daripada kita tutupi diri dan terkesan ‘hebat’ di dunia tapi di akhirat ‘digebuki’ malaikata. Walau sepintar apa kita di dunia, bila kita inkar pada-Nya, pertanyaan-pertanyaan malaikat kubur akan oleh mulut kita yang dulu pintar tidak bisa berbuat apa-apa kecuali sebagaimana adanya. Kita tak mungkin bermanipulasi pada waktu itu. Semua jasad kita akan menjadi saksi kebohongan-kebohongan. Jadi berbohong menjadi energy negative yang akan menghancurkan kehidupan kita. na’udzu billah mindzaalik.
(kiriman dari sahabatku :Kholili Hasib)